image is taken from here |
Tengah hari itu begitu terik, matahari memancarkan
sinarnya tak tanggung-tanggung, langsung membakar ke epidermis kami dan
membuatnya legam mengkilat dilapisi keringat. Kami semua sedang melarikan diri
dari bola kuning berukuran segenggaman tangan yang dibawa Ilham kesana kemari.
Bola tenis itu kami gunakan untuk bermain bata
tenggor, sebuah permainan yang entah asal usulnya dari mana, yang saat itu
tengah famous di kalangan anak SD di
kampung kami.
Permainan itu cukup sederhana. Sejumlah anak yang
bermain dibagi menjadi dua tim. Masing-masing tim yang diketuai satu anak itu
suit untuk menentukan tim yang duluan main sebagai pemain, dan tim kalah yang
main sebagai penjaga. Tim yang menjadi pemain akan melempar bola tenis ke arah
susunan batu bata, membuatnya berantakan, kemudian berlari ke segala arah. Tim
yang menjadi pemain berusaha untuk menyusun kembali batu bata tersebut sesuai
ukurannya dari besar ke kecil, tanpa terkena pukulan bola tenis dari tim yang
menjaga. Tugas tim penjaga adalah mengoper bola tenis antar timnya, untuk
memukul tim pemain dengan bola tersebut. Bola tenis tidak bisa dibawa
kemana-mana, seperti sistem double dalam
basket, bola tersebut harus terus dioper sambil mengincar tim pemain yang
berusaha menyusun batu bata.
Tim pemain menang jika berhasil menyusun kembali
batu bata sesuai ukurannya tanpa mati atau pemainnya habis terkena pukul bola
tenis. Jika semua pemain dari tim pemain mati terpukul dan batu bata belum
tersusun, maka tim penjaga berhak untuk berganti posisi menjadi tim pemain.
Begitu terus permainan bergulir layaknya bermain baseball dengan beberapa kali inning.
Namun, permainan yang tengah seru bergulir diiringi
sorak-sorai tim pendukung dan tim yang bermain itu tiba-tiba saja senyap.
Suara-suara seakan terbungkam dalam satu kotak Pandora yang kuncinya hilang.
“Praaangg!”
Kaca jendela ruang guru pecah. Semua anak beringsut
menuju pinggir lapangan upacara dan tiba-tiba menghilang entah kemana. Saya
masih termangu di tengah lapangan ketika tanpa sadar beberapa anak sudah pergi
bersembunyi. Entah siapa yang melempar ke arah ruang guru dan tanpa sengaja memecahkan
kacanya, namun saya, Ilham, Fauzi, Tuti, dan Nuron yang masih berada di
lapangan upacara nampaknya harus siap untuk menerima semprotan kepala sekolah
atas perbuatan yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab kami.
“Kumaha yeuh?
Saha nu rek minta maap ka pak Parjo?” Pertanyaan Fauzi memecah keheningan.
Bagaimana ini? Siapa yang akan meminta maaf ke Pak Parjo?
Kami para bocah kelas 4 SD saling menggelengkan
kepala mendengar pertanyaan Fauzi. Siapa juga yang berani berhadapan dengan
kepala sekolah killer itu?
Keheningan itu dipecahkan dengan suara bel sekolah
yang bunyinya nyaring seperti tukang es nong-nong. Kleneng, kleneng, kleneng. Bunyi bel tiga kali menandakan waktu
istirahat habis. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kami berlima langsung
berlari menuju kelas. Belum ada tanda-tanda seorang guru keluar dari ruang guru
dengan kaca jendela yang pecah itu, dan debar dalam dada kami berlima masih
belum reda.
“Eh maneh mah
kalah ninggalkeun urang! Saha eta nu rek tanggung jawab?” suara ribut di
kelas terdengar dari kejauhan saat kami memasuki kelas.
Beberapa anak yang ikut
bermain dengan kami berlima yang tadi tertinggal di tengah lapangan mulai
terlihat gelisah. Kaca jendela pecah memang bukan yang pertama kalinya di
sekolah kami, beberapa bulan yang lalu kelas 6 memecahkannya saat bermain sepak
bola di lapangan. Namun baru kali ini siswa kelas 4 SD yang memecahkannya dan
kami terlalu takut untuk bertanggungjawab kepada para guru.
Keributan itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba
seorang guru masuk ke kelas kami. Semua anak langsung duduk di tempat duduknya
walau tanpa dikomando. Duduk siap, kepala tegak, tangan bersedekap di atas
meja, dan pandangan lurus ke depan.
Bukan Pak Parjo yang masuk, justru seorang guru
dengan kerudung krem dan baju khas PNS nya duduk dengan santai di kursi guru
dan mulai mengeluarkan beberapa buku pelajaran.
Siapa sih?
Kami saling memandang satu sama lain tanpa suara.
Jarang sekali ada guru baru di sekolah kami yang terletak di pedesaan ini. Gaji
kecil, orang tua murid yang profesinya rata-rata buruh, dan pemahaman yang minim
tentang pentingnya pendidikan membuat beberapa guru mundur untuk mau mengajar
di desa kami.
“Siapa tadi yang memecahkan kaca jendela ruang
guru?”
Suara perempuan berjilbab krem itu bulat dan
terdengar tegas. Membuat bulu kuduk saya langsung berdiri, bukan karena takut,
lebih karena ada rasa kagum disana.
Kelas senyap. Hanya terdengar bisik-bisik dan saling
sikut satu sama lain.
“Ya! Kamu yang pake kerudung putih, ajak empat teman
kamu yang tadi bengong di tengah lapangan upacara untuk ambil semua batu bata
dan bola tenis tadi!” telunjuknya mengarah kepada saya tanpa ragu.
“Saya, Bu?” tanya saya ragu sambil menunjuk diri
sendiri.
“Ya!”
Saya mencolek Tuti, Fauzi, Ilham dan Nuron untuk
keluar kelas dan memunguti batu bata dan bola tenis yang tadi tergolek begitu
saja di tengah lapangan.
“Aduh ieu mah,
hanjakal! Hanjakal!” Aduh, celaka! Celaka!
Nuron berkata dengan nada miris. Anak laki-laki yang
agak kemayu itu memang baru kali ini ikut bermain bata tenggor dan langsung kena batunya. Tak heran jika lain kali ia
menolak keras untuk ikut bermain lagi.
“Geus lah,
geura gancang!” Ya udah lah, cepetan deh!
Fauzi mendahului kami membawa masuk batu bata yang bisa
ia temui dan genggam ke dalam kelas. Kami pun menyudahi pembicaraan bisik-bisik
kami dan langsung menyusulnya ke dalam kelas.
Sesampainya di kelas, bukannya kelas hening yang
kami dapati, justru kelas super ribut dengan anak-anak yang sibuk menggeser
bangku dan meja ke sisi ruangan.
“Aya naon
yeuh?” Ada apa nih?
“Kita mau menggambar di tengah kelas, simpan batu
bata dan bola tenis kalian di meja guru ya!” suara ibu guru berjilbab krem itu
terdengar begitu manis di telinga saat menjawab pertanyaan Ilham.
Kami saling memandang penuh tanda tanya dan melakukan
perintah beliau dalam diam. Setelah melakukan perintahnya, kami ikut merapikan
bangku dan meja di sisi kelas sebelum akhirnya ikut berkumpul di tengah kelas
bersama dengan guru nyentrik itu.
“Hari ini ibu dengar beberapa anak kelas 4 ada yang
memecahkan kaca jendela ruang guru. Tapi ibu kesini bukan untuk memarahi,
apalagi menghukum kalian. Tidak! Ibu kesini untuk mengajar. Ibu bersedia
mengganti kaca ruang guru yang pecah asalkan kalian serius mendengarkan
pelajaran IPA hari ini, dan di akhir pelajaran ibu akan memberikan tes. Jika
nilai kalian bagus di tes itu, ibu bukan hanya mengganti kaca ruang guru, namun
juga akan mengajarkan kalian bermain baseball
di lapangan bola hari Minggu besok!”
Ibu guru yang mengenalkan diri bernama Ade Khodijah itu
memang bukan guru biasa. Suaranya yang bulat, tegas, dan keras membuat kami
sering kali tersentak dan terdiam. Tak heran jika perhatian kami langsung
teralihkan menuju sumber suaranya dan tetap mendengarkan hingga ia selesai bicara.
Kharisma perempuan Sunda ini begitu menyelimuti atmosfer kelas.
Ia mengambil kapur berwarna merah dan mulai
menggambar sesuatu di tengah kelas. Beberapa bulatan besar, garis, tanda panah,
dan kotak-kotak lain dengan berbagai warna kapur yang tak pernah kami lihat
sebelumnya. Kapur selalu identik dengan warna putih dan baru kali ini kami
melihat kapur berbagai warna.
Excited. Really
excited with her.
Kami lalu diberikan beberapa pecahan batu bata dan
pecahan genteng dari mejanya dan diminta untuk memperhatikannya yang tengah melepas
sepatu haknya.
Mau apa?
“Pernah dengar permainan engklek?”
“Pernah Buuuu!”
“Ya, sekarang kita akan bermain engklek dengan
gambar ini!” ibu Ade menunjuk gambar besarnya di tengah kelas dengan nada
bangga. Raut heran dan bingung terpancar dari wajah kami masing-masing.
Engklek dimainkan dalam kotak-kotak berbentuk
persegi dengan nomor di tengahnya yang membentuk seperti huruf T dengan
setengah lingkaran di akhir bentuk T tersebut. Setiap anak kecil dalam masa
saya pernah memainnkannya, dan bentuk yang digambar ibu Ade sama sekali bukan
gambar untuk permainan engklek.
“Kenapa? Bingung?”
Kami semua mengangguk serempak.
“Begini cara mainnya! Ini adalah engklek sistem
peredaran darah. Kalian tau engga, kalo darah di tubuh kalian mengalir ada
jalurnya. Seperti mobil ada jalan khususnya. Sistem peredaran darah itu ada
sistem peredaran darah kecil, dari bilik kanan, arteri, paru-paru, vena, lalu
ke serambi kiri. Darah ini kaya akan oksigen, makanya warnanya merah. Ada lagi
sistem peredaran darah besar, yaitu dari bilik kiri, ke pembuluh aorta, lalu ke
arteri, ke jaringan tubuh, lalu ke vena, terakhir ke sambil kanan. Darahnya
warnanya biru, karena kaya akan karbondioksida. Pertukarannya ada di paru-paru,
oksigen dihirup, karbondioksida dibuang, darah yang kaya oksigen akan dibawa ke
serambi kiri, darah dari seluruh tubuh yang kaya karbondioksida dibawa ke
serambi kanan.” Ujarnya sambil menjelaskan dengan melempar pecahan bata ke lantai
dan melompat. Ya, bu Ade bermain engklek diatas gambar buatannya yang
diandaikan sebagai sistem peredaran darah manusia.
Kami melongo sebentar saat ia menjelaskan dengan
begitu cepat. Namun karena beliau menjelaskan sambil bergerak dan bermain, dan
gambar-gambarnya pun dilengkapi dengan tulisan bilik kanan, bilik kiri,
paru-paru, dan lain-lain, juga disertai dengan berbagai warna, maka dengan
mudah kami menghafalnya.
Ia kemudian mengangsurkan lima batang kapur berbeda
warna ke arahku dan empat temanku yang lain. Kami berlima yang tadi tengah
gelisah dan takut tentang urusan kaca jendela yang pecah, kini dihadapkan
kepada guru nyentrik dengan sistem
peredaran ‘engklek’ darahnya.
“Gambar dan main!” ucapnya singkat, lalu
meninggalkan kami untuk membagikan kapur yang lain pada teman kami yang lain.
Dalam waktu singkat kami menggambar sistem peredaran
darah kami sendiri di lapangan upacara, di depan kelas, di dalam kelas, halaman
belakang, atau dimana pun kami bisa menggambar, dan mulai melempar potongan
batu bata kami ke dalamnya. Berjinjit, berjingkat, melompat, dan kemudian
bersorak gembira ketika kami bisa mencapai jantung kembali setelah berjalan
jauh ke paru-paru atau ke seluruh tubuh.
Dan entah mengapa, sejak saat itulah saya mulai menyukai
yang namanya sekolah. Karena beliau lah, guru nyentrik dengan sistem peredaran darahnya yang aneh.
Ketika permainan itu berakhir tiga puluh menit
kemudian, kami duduk menyebar di lantai kelas tanpa takut kotor, diatas
gambar-gambar yang sudah tak jelas bentuknya, sambil menjawab pertanyaan bu Ade
dalam kertas selembar.
Baru kali itu juga saya tak takut dengan namanya tes
dadakan. Ya, karena tes itu hanya menyuruh kami untuk menggambarkan aliran
peredaran darah kecil dan besar. Kami boleh menggunakan gambar, kata-kata, atau
perpaduan keduanya. Dalam waktu sepuluh menit, semua anak sudah selesai dengan
pekerjaannya, tak lupa dengan wajah sumringah karena berhasil mengerjakan
dengan usaha sendiri tanpa mencontek.
Oh God, how do I
love school so much at that time!
Tak ada kaca jendela pecah lagi mulai saat itu,
karena bu Ade mengajak kami bermain baseball
di lapangan sepak bola tanpa khawatir memukul keras-keras, atau melempar
bola sejauh mungkin.
Tak ada lagi keluhan malas sekolah dari anak siswa
kelas 4 SD. Kami begitu bersemangat menyambut guru baru yang energik dan
eksentrik itu dengan segala keunikannya dalam mengajar.
Tak ada lagi saya dan teman yang mengeluhkan
dimarahi guru, karena bu Ade Khodijah dengan caranya yang spesial, selalu
menemukan jalan bagaimana menegur kami dengan bahasa halus, mengena, dan tetap
diingat namun tidak terkesan menggurui.
Yes, she successfully locked our heart into her.
Saya malah ga tau caranya main Bata Tenggor. Tapi, guru itu memang benar2 jempolan, kreative, dan innovative. Patut dicontoh. Luar biasa, saya kagum..thanks for sharing, sist.
BalasHapusyup sama2 mbak, hehe :D guru paling kreatif dan unforgettable buat saya :)
BalasHapusmenarik tulisannya...sukses ya
BalasHapus