20 Agustus 2014
Hari pertama
kami tiba di Jepang, kami ditempatkan di Ozu Youth Centre, Matsuyama, Shikoku
Island, Japan. Hari ini diisi dengan program orientasi/ pengenalan mengenai
background adanya SUIJI, dan penyamaan mindset tentang program SLP.
 |
tampak depan ozu youth centre |
 |
rentetan bendera, entah apa artinya :P |
 |
view dari ozu youth. duuh keren >.< |
Di Indonesia
dikenal dengan program KKN (Kuliah dan Kerja Nyata), dimana mahasiswa dari
setiap disiplin ilmu datang ke desa-desa di Indonesia untuk mengadakan program
terhadap desa tersebut. Tapi yang seperti kita tahu, programnya tidak banyak
berubah sejak dulu, yakni penyuluhan yang berisi berbagai saran untuk dilakukan
petani/ nelayan.
Di jepang,
KKN dikenal dengan nama SLP (Service Learning Program), dimana mahasiswa datang
ke desa bukan untuk melakukan program yang dibawa dari kampus, namun mahasiswa
datang untuk mendengar apa yang diinginkan orang desa dan berusaha semampu
mungkin untuk membantu.
Pak Bowo,
dosen FEMA IPB yang menjadi pembimbing mahasiswa SUIJI IPB mengatakan bahwa KKN
mungkin cocok di zamannya, yakni dengan membawa program ke desa dan menjelaskan
ilmu yang didapat di kuliah yang mungkin tidak ada di desa. Seiring waktu,
petani di desa lebih berkembang dan mandiri untuk mengolah lahan mereka. Begitu
pun dengan nelayan. Sehingga terkadang beberapa program dirasa tidak cocok,
bahkan tertinggal untuk diaplikasikan.
Tujuan dari
SLP adalah untuk membentuk ‘servant leader’. Dimana titik
tekannya adalah menjadikan mahasiswa
lebih ‘peka’ dalam mendengar apa
yang diinginkan rakyatnya, sehingga proses pembelajarannya adalah dengan banyak
‘mendengar’ apa yang diinginkan orang desa yang kita tuju, lalu melakukan
koneksi terbaik yang kita bisa. Selain itu, titik tekan yang lain adalah
sustainibility dan futurability. Sebuah perubahan yang kita lakukan harus tetap
berjalan meski kita telah meninggalkan desa tersebut. Sehingga project SLP ini
terkesan tidak ribet, hanya mendengar dan memahami, tidak ada program, tapi
justru disinilah kelemahan orang indonesia. Kita terbiasa bicara banyak, dan
sangat sulit mendengarkan.
 |
tujuannya SUIJI |
 |
presentasi oleh motoko shimagami (mocchan) |
Salah satu
masalah besar Jepang yang dijadikan main
problem saat SLP adalah tingginya arus urbanisasi, dimana tidak ada
generasi muda yang tinggal di desa untuk membangun desanya. Banyak sekali desa
di Jepang yang didiami oleh orang tua, salah satunya adalah site yang saya
dapatkan sebagai tempat service learning, Zenitsubo. Penjelasan mengenai
Zenitsubo akan saya berikan di post selanjutnya.
Dalam SLP
ada 3x3 keywords yang dijadikan acuan. Yakni part 1 contains : economy,
society, and environment. Dan part 2 terdiri dari inter-generation,
inter-species, and intra-generation. 3x3 keywords menjadikan kita lebih
terfokus untuk menelusuri masalah desa sesuai dengan ‘kepekaan’ yang kita
temukan.
Salah satu keywords yang mungkin agak membingungkan mungkin part 2.
Inter-generation maksudnya adalah antar generasi (tua-muda), intra-generation
adalah sesama generasi tersebut (muda-muda, atau tua-tua), dan inter-spesies
(manusia-hewan-binatang).
Salah satu
contohnya adalah ketika negara Jepang mengalami bencana nuklir pada tahun 2011,
padahal kita tahu bahwa nuklir merupakan sumber energi besar. Sekarang
pemerintah Jepang sedang memperbaiki sistem pengolahan energinya yang lebih
aman dari nuklir. Pertanyaannya, jika kita sedang menghadapi masalah tersebut,
keywords manakah yang akan kita telusuri lebih dulu? Apakah society, economy, environment,
inter-generation, intra-generation, atau inter-species?
 |
siklus nuklir |
 |
salah satu masalah nuklir : radioactive waste |
Selain
keywords, kami juga ditantang untuk mengembangkan 7 competence yang diharapkan
dari program SUIJI ini.
Dari program
ini saya sangat berharap, karakter saya sebagai orang indonesia yang : sering
terlambat, terdidik menjadi ndoro (majikan
red.), sulit mendengar, tidak peka, dll bisa berubah sedikit demi sedikit.
 |
competensi yang harus dimiliki servant leader |
Perlu
diketahui orang Jepang sangat menghargai waktu, menghargai orang yang bicara,
dan pekerja keras. Saat menulis ini saya sebenarnya sudah ada di Zenitsubo dan
tokoh masyarakat disana (Ozaki-san) mengatakan bahwa karakter orang Jepang yang
pekerja keras sangat terkait dengan keadaan alamnya, seperti kontur tanah,
cuaca, dll.
Ozaki-san
pernah mengunjungi Indonesia dan cukup memahami karakter orang Indonesia. Ia
mengatakan bahwa orang Indonesia sangat mudah mendapatkan makanan, tanahnya
subur, negara yang kaya. Dalam satu kali keliling kampung, ia bisa mendapatkan
makanan untuk 1 hari tersebut. Ada kelapa yang sangat berguna dari buah hingga
akar, buah dan sayur mayur, juga umbi-umbian. Di jepang, hal tersebut sangat
sulit. Padi hanya bisa dipanen sekali 1 tahun, dan beberapa sayur mayur juga
umbi sulit tumbuh karena cuaca dan musim yang labil, dan begitu seringnya
taifun dan gempa terjadi.
Hal tersebut
menempa orang Jepang untuk kreatif dalam mencari makanan, dan dalam hal lain
justru keadaan alam Indonesia menempa kita untuk menjadi ‘malas’ dalam berfikir
kreatif. Tapi agak tidak menyenangkan jika kita terus berkutat dengan
kekurangan, thats like a cycle, never end. Lebih baik melakukan perubahan,
walau kecil, setidaknya kita menjadi bagian dari ‘pemain’ bukan ‘penonton’.
Ini adalah beberapa random photos di Ozu youth centre.
Maybe thats
all. I hope i can be a new person after joining this program. Arigatou
gozaimasu :)