11 September 2014

SUIJI 2014 [Day 2 : It's not KKN, but SLP, the story about more hearing] #4

20 Agustus 2014
Hari pertama kami tiba di Jepang, kami ditempatkan di Ozu Youth Centre, Matsuyama, Shikoku Island, Japan. Hari ini diisi dengan program orientasi/ pengenalan mengenai background adanya SUIJI, dan penyamaan mindset tentang program SLP.

tampak depan ozu youth centre


rentetan bendera, entah apa artinya :P


view dari ozu youth. duuh keren >.<






















































Di Indonesia dikenal dengan program KKN (Kuliah dan Kerja Nyata), dimana mahasiswa dari setiap disiplin ilmu datang ke desa-desa di Indonesia untuk mengadakan program terhadap desa tersebut. Tapi yang seperti kita tahu, programnya tidak banyak berubah sejak dulu, yakni penyuluhan yang berisi berbagai saran untuk dilakukan petani/ nelayan.

Di jepang, KKN dikenal dengan nama SLP (Service Learning Program), dimana mahasiswa datang ke desa bukan untuk melakukan program yang dibawa dari kampus, namun mahasiswa datang untuk mendengar apa yang diinginkan orang desa dan berusaha semampu mungkin untuk membantu.

Pak Bowo, dosen FEMA IPB yang menjadi pembimbing mahasiswa SUIJI IPB mengatakan bahwa KKN mungkin cocok di zamannya, yakni dengan membawa program ke desa dan menjelaskan ilmu yang didapat di kuliah yang mungkin tidak ada di desa. Seiring waktu, petani di desa lebih berkembang dan mandiri untuk mengolah lahan mereka. Begitu pun dengan nelayan. Sehingga terkadang beberapa program dirasa tidak cocok, bahkan tertinggal untuk diaplikasikan.

Tujuan dari SLP adalah untuk membentuk ‘servant leader’. Dimana titik tekannya adalah menjadikan mahasiswa lebih ‘peka’ dalam mendengar apa yang diinginkan rakyatnya, sehingga proses pembelajarannya adalah dengan banyak ‘mendengar’ apa yang diinginkan orang desa yang kita tuju, lalu melakukan koneksi terbaik yang kita bisa. Selain itu, titik tekan yang lain adalah sustainibility dan futurability. Sebuah perubahan yang kita lakukan harus tetap berjalan meski kita telah meninggalkan desa tersebut. Sehingga project SLP ini terkesan tidak ribet, hanya mendengar dan memahami, tidak ada program, tapi justru disinilah kelemahan orang indonesia. Kita terbiasa bicara banyak, dan sangat sulit mendengarkan.

tujuannya SUIJI



presentasi oleh motoko shimagami (mocchan)





































Salah satu masalah besar Jepang yang dijadikan main problem saat SLP adalah tingginya arus urbanisasi, dimana tidak ada generasi muda yang tinggal di desa untuk membangun desanya. Banyak sekali desa di Jepang yang didiami oleh orang tua, salah satunya adalah site yang saya dapatkan sebagai tempat service learning, Zenitsubo. Penjelasan mengenai Zenitsubo akan saya berikan di post selanjutnya.

Dalam SLP ada 3x3 keywords yang dijadikan acuan. Yakni part 1 contains : economy, society, and environment. Dan part 2 terdiri dari inter-generation, inter-species, and intra-generation. 3x3 keywords menjadikan kita lebih terfokus untuk menelusuri masalah desa sesuai dengan ‘kepekaan’ yang kita temukan. 

Salah satu keywords yang mungkin agak membingungkan mungkin part 2. Inter-generation maksudnya adalah antar generasi (tua-muda), intra-generation adalah sesama generasi tersebut (muda-muda, atau tua-tua), dan inter-spesies (manusia-hewan-binatang).


Salah satu contohnya adalah ketika negara Jepang mengalami bencana nuklir pada tahun 2011, padahal kita tahu bahwa nuklir merupakan sumber energi besar. Sekarang pemerintah Jepang sedang memperbaiki sistem pengolahan energinya yang lebih aman dari nuklir. Pertanyaannya, jika kita sedang menghadapi masalah tersebut, keywords manakah yang akan kita telusuri lebih dulu? Apakah society, economy, environment, inter-generation, intra-generation, atau inter-species?

siklus nuklir




salah satu masalah nuklir : radioactive waste



















Selain keywords, kami juga ditantang untuk mengembangkan 7 competence yang diharapkan dari program SUIJI ini. 
Dari program ini saya sangat berharap, karakter saya sebagai orang indonesia yang : sering terlambat, terdidik menjadi ndoro (majikan red.), sulit mendengar, tidak peka, dll bisa berubah sedikit demi sedikit.

competensi yang harus dimiliki servant leader




















Perlu diketahui orang Jepang sangat menghargai waktu, menghargai orang yang bicara, dan pekerja keras. Saat menulis ini saya sebenarnya sudah ada di Zenitsubo dan tokoh masyarakat disana (Ozaki-san) mengatakan bahwa karakter orang Jepang yang pekerja keras sangat terkait dengan keadaan alamnya, seperti kontur tanah, cuaca, dll.

Ozaki-san pernah mengunjungi Indonesia dan cukup memahami karakter orang Indonesia. Ia mengatakan bahwa orang Indonesia sangat mudah mendapatkan makanan, tanahnya subur, negara yang kaya. Dalam satu kali keliling kampung, ia bisa mendapatkan makanan untuk 1 hari tersebut. Ada kelapa yang sangat berguna dari buah hingga akar, buah dan sayur mayur, juga umbi-umbian. Di jepang, hal tersebut sangat sulit. Padi hanya bisa dipanen sekali 1 tahun, dan beberapa sayur mayur juga umbi sulit tumbuh karena cuaca dan musim yang labil, dan begitu seringnya taifun dan gempa terjadi.

Hal tersebut menempa orang Jepang untuk kreatif dalam mencari makanan, dan dalam hal lain justru keadaan alam Indonesia menempa kita untuk menjadi ‘malas’ dalam berfikir kreatif. Tapi agak tidak menyenangkan jika kita terus berkutat dengan kekurangan, thats like a cycle, never end. Lebih baik melakukan perubahan, walau kecil, setidaknya kita menjadi bagian dari ‘pemain’ bukan ‘penonton’.

Ini adalah beberapa random photos di Ozu youth centre.


apel pagi dan sore di Ozu haha :P


salah satu isi dari vending machine di Ozu


babi babiii >.< not halal


kiri kanan : natto, seaweed, telur (makanan pendamping nasi)




udooonnnn >.<


Zenitsubo team (minus ila from unhas)




































Maybe thats all. I hope i can be a new person after joining this program. Arigatou gozaimasu :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...