17 Februari 2014

Setangkai Bunga

Pernah mendengar tentang kisah seorang guru dan muridnya?

Alkisah, seorang guru mengajak murid kesayangannya menuju sebuah padang rumput yang luas.

Padang rumput itu ditumbuhi bunga-bunga yang indah, cantik, dan tentunya harum semerbak.

Saat sampai di ujung padang rumput, sang guru mengajak muridnya berbicara.
‘Muridku, aku ingin mengujimu mengenai sesuatu. Di hadapanmu ada padang rumput penuh bunga yang terhampar luas. Aku ingin kamu mengambil satu tangkai bunga yang menurutmu paling cantik, indah, dan harum.’

Si murid berfikir ini pekerjaan yang sangat mudah, hanya setangkai bunga yang paling indah tentu murid sepintar dirinya tidak akan salah langkah.

‘Tapi, ada peraturannya. Kamu harus terus melangkah maju, tak boleh menengok ke belakang, kecuali kamu sudah sampai ke ujung padang rumput yang satunya. Jika pada tengah bagian dari padang rumput kamu sudah menemukan bunga, kamu boleh langsung kembali ke sini. Pokoknya batas kamu mencari bunga terbaik untuk dibawa kehadapanku adalah ujung padang rumput ini. Batas waktunya adalah hingga siang hari, tepat ketika matahari berada di tengah-tengah, aku akan menunggumu disini selama kamu mencari.’ ucap sang guru menambahkan.

Sang murid mengangguk tanda mengerti. Baginya hal ini adalah perkara mudah. Ia segera memulai pencarian. Hari masih cukup pagi ketika ia mulai melangkahkan kaki di padang rumput itu. Sang guru memulai aktivitasnya menunggu sambil sesekali tersenyum misterius.

Hari dengan cepat beranjak menuju siang. Matahari yang tadinya nampak hangat sekarang mulai tega memancarkan sinar teriknya. Namun sang guru tetap menunjukkan wajah bijaksananya, sementara sang murid masih belum menunjukkan diri.

Tak lama berselang, sang murid akhirnya datang dengan setangkai bunga di tangannya. Ia menyerahkan bunga itu dengan wajah murung. Sang guru tersenyum dengan bijak lalu bertanya, ‘Ada apa anakku? Mengapa wajahmu murung?’

Sang murid menjawab dengan lesu, ‘Rasanya aku masih belum memberikan bunga terbaik untukmu guru.’

‘Loh, mengapa begitu?’

‘Aku sudah menemui bunga yang cukup menarik sekitar 5 menit sejak melangkahkan kaki ke padang rumput ini, tapi entah mengapa rasanya tidak cukup menarik untuk diberikan padamu. Karena aku menurutimu untuk tidak menengok ke belakang, akhirnya aku tidak jadi mengambil bunga itu dan kembali melangkah ke depan. Hal itu terjadi berturut-turut, karena aku berfikir masih ada bunga yang lebih menarik di depanku nantinya. Tanpa sadar hari sudah siang, dan aku sudah sampai di ujung padang. Aku mulai panik, hingga akhirnya bunga inilah yang aku persembahkan padamu.’ Jawabnya masih dengan wajah murung.

Sang guru tersenyum lagi lalu menjawab, ‘Inilah hidup anakku. Ujian terakhir ini bertujuan untuk melihat seberapa besar kamu untuk bersyukur terhadap sesuatu. Sampai kapan pun, sesuatu yang dicari tidak akan pernah cukup. Kita harus menemukan fase dimana kita harus merasa cukup, agar tidak tamak mengejar sesuatu yang tidak ada habisnya.’

‘Ini berlaku untuk banyak hal, seperti harta, tahta, maupun wanita. Bahwa menimbang tentunya akan lama, sementara waktu pencarianmu terus berjalan, engkau semakin menua. Apa yang telah kamu tolak, tentu tidak akan kembali lagi, karenanya ketika kamu semakin sulit menimbang, semakin tamak mencari, maka penyesalan yang akan kamu temui di ujung padang. Seperti saat ini ketika kamu memberikan bunga yang kamu sendiri tidak puas terhadapnya. Jika pada suatu hari nanti kamu dihadapkan pada pilihan akan seorang perempuan yang baik, kamu cocok, namun kamu merasa pada suatu hari ke depan kamu akan dihadapkan dengan perempuan yang lebih baik lagi, dan pada akhirnya kamu ingin menolaknya, maka ingatlah kembali hikmah ujianmu hari ini.'

~~~

Semoga ketika suatu hari Allah menghadapkan aku pada dua pilihan antara ya dan tidak, Allah mengingatkan aku kembali tentang cerita ini
Bahwa memulai sesuatu tidaklah harus dengan sama-sama sempurna
Bahwa seharusnya cukup dan genap adalah bersamamu.
:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...