09 Juni 2011

Dad, I will.

image taken from here

Malam ini, bersamaan dengan hujan yang turun cukup deras, dan saya yang belum mengantuk karena efek hibernasi seharian ini. Karena maag saya kumat, sumbilangen, mual dan sulit makan membuat saya menenggak obat dan akhirnya efek paracetamol membuat saya sulit tidur di malam harinya.

Malam yang sama seperti malam yang lain, rasa sakit melilit karena PMS membuat saya memutuskan untuk pergi ke dapur dan mencari segelas air putih, berjalan mendekati kotak obat dan mencari paracetamol, dan kembali ke kamar setelah menenggak isi gelas hingga kandas.

Masih merasa biasa saja, saya mengecek handphone dan tidak menemukan sms balasan darimu yang katanya hari ini badmood dan minta tidak dihubungi. Saya sempet kesal paginya, karena saya yang notabene sakit, bolos les, stress tingkat tinggi, lapar tapi mual, dan di rumah sendirian, membutuhkan kamu, setidaknya menjadi teman ngobrol saya. Eh, kamu malah main futsal dan mematikan handphonemu. Bagoooss!
Well, amarah mereda, sekarang saya sedang tidak ingin membahas kamu.


Setelah mengecek facebook dan ingin meng-update status, saya tampak bingung. Kebiasaan buruk, status yang saya tulis pasti dipikirkan masak-masak sebelum meng-klik tombol share. Mungkin karena efek sebal dengan anak-anak alay yang memasang status percintaan dan galau tingkat tinggi yang bikin mual ketika membacanya, saya jadi pikir dua kali jika ingin menulis status serupa.

Ah, tuh kan, jadi ngalur ngidul lagi.

Akhirnya sebuah ide muncul di otak ketika mendengar rintik hujan semakin keras, dan suara ayah yang baru selesai mandi. 

Perhatian, jam menunjukkan pukul 23.00 WIB, dan ayah saya bukan hendak malam mingguan, atau pulang malam mingguan.

“He awake and goes to work, and it’s raining. While I’m sleeping until morning. Dad, I’ll make you proud of me, I will.”

Itu status fesbuk saya, akhirnya.

Saya bukan seorang anak yang begitu dekat dengan ayahnya. 

Bukan karena saya anak broken home atau semacamnya, tapi ayah saya memang orang yang cukup tertutup mengenai masalah pribadinya.

Ayah saya juga bukan orang yang humoris, atau bijak, atau sosok ayah yang bisa dicintai anaknya dengan segala kelebihannya. Tidak.

Dia hanya seorang lelaki biasa, dengan wajah yang masih ganteng di tengah usia yang menginjak empat puluh enam. Dia bukan ayah yang begitu antusias melihat nilai rapot anaknya yang tidak pernah berwarna merah, selalu hitam. Selalu nyaris sempurna.

Ayah saya juga bukan lelaki jago teknologi yang bisa mengajari anaknya reparasi komputer, atau fotografi, atau bahkan punya tablet di tas kerjanya. Tidak.

Bukan juga yang pecinta kerja, berangkat pagi pulang malam, sabtu minggu lembur. Tidak. Ia bahkan menolak lembur dengan alasan nonton liga inggris, atau kami masih bisa menemukannya terbahak menonton OVJ bersama kami selepas pulang sekolah.

Ia bukan ayah lulusan universitas terkenal dengan otak encer dan mampu menyebutkan rumus fisika di luar kepala, atau bahkan bisa mereparasi semua alat elektronik dengan benar, tidak hanya bisa membongkar dan tidak bisa memasang kembali.

Tidak, tidak, tidak.

Yang bisa saya banggakan dari dirinya adalah pribadinya yang sederhana dan tidak neko-neko. Ia mensyukuri apa yang ia dapatkan, walau terkadang beberapa sifat buruknya sering membuat saya dan ibu saya kesal. 

Saya anak perempuan satu-satunya di rumah, tapi yang paling keras hati dan sering bertengkar dengannya. Ia tak pernah menunjukkan ekspresi bangga atau mungkin menyemangati saya yang sedang kendor semangatnya ketika belajar.
Ia tidak berkomentar apapun ketika nilai saya buruk atau baik. Saya hanya tau ia memperhatikan, namun terkadang mungkin, lebih banyak saya tidak tahu, bahwa ia mengamati lebih banyak dari yang saya tahu.

Saya tidak membencinya. Tidak mungkin seorang anak membenci ayahnya sendiri. Ia baik, ia bertanggungjawab, walau terkadang tidak bisa diajak tukar pikiran, walau terkadang ia tidak mendengarkan saya yang meminta pendapat, walau terkadang ia lebih memilih menonton bola dibanding membantu ibu yang kerepotan di dapur.
Saya pernah menangis sesengukan, hingga muntah. Karena saya menumpahkan segala kekesalan saya padanya, semua yang saya sebutkan diatas. Dan ketika ia bertanya ia harus bersikap seperti apa agar saya senang, saya justru bingung.

Entahlah, saya mungkin tidak terlalu menyayanginya. Tapi saya tahu saya tidak pernah membencinya, dengan segala kekurangannya. Semua yang saya lakukan hingga saat ini juga untuknya, untuk ibu saya, untuk keluarga saya, hingga akhirnya untuk diri saya sendiri.

Dad, I will make you proud of me
I will.

Ps: tulisan sekitar seminggu lalu, lumayan buat posting, hehe :D

8 komentar:

  1. pastikan janjimu terpenuhi ya Li...

    BalasHapus
  2. pasti mbak, pasti. :)
    did you get my message? udah ada di folder sent, mudah2an nyampe, mdh2an suka :)

    BalasHapus
  3. orangtua memang selalu disebelin, dikeluhin dan diprotesin... tapi kalo mrk udah gak ada, menyesalnya bakal setengah mati...

    *pengalamanpribadi*

    keep ur promise, dear :)

    BalasHapus
  4. @mbak enno.
    membayangkan mereka ga ada aja udah ga sanggup mbak, apalagi kalo bener terjadi. duh, ya tuhan, apalagi ibu ya mbak?
    aku paling deket sama ibu soalnya.

    aniwei, tumben mampir, makasih ya :*

    BalasHapus
  5. @adit.
    gila dit, nangis jangan ingusan di baju gue dong *sigh*

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...