Kami duduk menikmati temaramnya lampu jalanan yang berkedip
malu malam itu. Duduk di trotoar malam hari, dengan minimnya jumlah kendaraan
yang lalu lalang, memberi aura nyaman tersendiri, bercerita tentang kami, kita,
mereka. Berpindah dunia, istilah kami untuk momen ini.
Jingga bilang, ia bosan dengan terpaan angin malam yang
lebih menggigit di atap rumah, tempat kami biasa berpindah dunia. Lalu usulan
duduk di trotoar jalan malam itu tercetus begitu saja dari bibirku. Ia
menanggapi antusias, seperti ketika kali pertama aku memberinya permen gulali
berbentuk burung yang bisa ditiup layaknya peluit.
Dan disinilah kami malam ini. Ia nampaknya terlihat cukup
nyaman dengan segelas susu coklat hangat dan biskuit yang aku bawa. Sementara
aku menyamankan diri dengan menatapnya. Aura jingga selalu memberi rasa nyaman
tersendiri, dan aku berniat menghisapnya kuat malam ini.
Apa yang kamu ingin ceritakan hari ini, ga? | Tidak ada, ru. | Lalu kenapa mengajakku bertemu? | Entah. Bertemu denganmu tidak berarti harus ada yang diceritakan kan? Aku hanya ingin bertemu saja|
Aku kehabisan pilihan kata untuk menjawabnya. Mungkin memang
itu yang jingga rasakan dibalik mata hitam pekatnya yang kini kobarannya masih
pudar.
Lalu kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku masih
memilih kata, Jingga asik dengan diamnya. Cukup lama, hingga ia merasa mengantuk,
dan aku pun mulai bosan menghitung jumlah bintang. Akhirnya diam itu baru pecah
dengan keputusan untuk mengakhiri pertemuan tanpa kata ini.
Malam beranjak
larut, lampu trotoar masih berkedip malu, jumlah kendaraan makin langka, dan
kami masih dalam posisi yang sama.
Ia berdiri beranjak, aku merapatkan jaket. Kuberanikan
bertanya.
Boleh kutanya kenapa ga? | Aku hanya nyaman ru, bersama kamu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar