03 September 2013

#2 Percakapan Tanpa Kata

Kami duduk menikmati temaramnya lampu jalanan yang berkedip malu malam itu. Duduk di trotoar malam hari, dengan minimnya jumlah kendaraan yang lalu lalang, memberi aura nyaman tersendiri, bercerita tentang kami, kita, mereka. Berpindah dunia, istilah kami untuk momen ini.

Jingga bilang, ia bosan dengan terpaan angin malam yang lebih menggigit di atap rumah, tempat kami biasa berpindah dunia. Lalu usulan duduk di trotoar jalan malam itu tercetus begitu saja dari bibirku. Ia menanggapi antusias, seperti ketika kali pertama aku memberinya permen gulali berbentuk burung yang bisa ditiup layaknya peluit.

Dan disinilah kami malam ini. Ia nampaknya terlihat cukup nyaman dengan segelas susu coklat hangat dan biskuit yang aku bawa. Sementara aku menyamankan diri dengan menatapnya. Aura jingga selalu memberi rasa nyaman tersendiri, dan aku berniat menghisapnya kuat malam ini.

Apa yang kamu ingin ceritakan hari ini, ga? | Tidak ada, ru. | Lalu kenapa mengajakku bertemu? | Entah. Bertemu denganmu tidak berarti harus ada yang diceritakan kan? Aku hanya ingin bertemu saja|

Aku kehabisan pilihan kata untuk menjawabnya. Mungkin memang itu yang jingga rasakan dibalik mata hitam pekatnya yang kini kobarannya masih pudar.

Lalu kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku masih memilih kata, Jingga asik dengan diamnya. Cukup lama, hingga ia merasa mengantuk, dan aku pun mulai bosan menghitung jumlah bintang. Akhirnya diam itu baru pecah dengan keputusan untuk mengakhiri pertemuan tanpa kata ini. 

Malam beranjak larut, lampu trotoar masih berkedip malu, jumlah kendaraan makin langka, dan kami masih dalam posisi yang sama.
Ia berdiri beranjak, aku merapatkan jaket. Kuberanikan bertanya.

Boleh kutanya kenapa ga? | Aku hanya nyaman ru, bersama kamu |



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...