07 November 2012

Every Child is Special


image is taken from here
Every child is special”.

That’s the tagline of Taare Zameen movie. Film tentang anak disleksia yang mengalami ‘pengucilan’ dari lingkungan sekitarnya. Bukan hanya dari sekolah, teman, namun keluarganya juga ikut mengirimnya ke sekolah berasrama. Tapi tidak, jangan salahkan mereka karena hal tersebut, itu karena mereka tidak tahu bahwa anak mereka terkena penyakit yang sama yang juga menyerang Albert Einstein.

Begitu pun dengan anak-anak SD Leuweung Kolot 07, terutama anak kelas satu SD yang menjadi bagian dari diriku selama dua minggu. Mereka dengan kesederhanaan dan kepolosan khas anak-anak sukses menghipnotisku untuk mencintai mereka lebih dalam. Mereka spesial dengan cara mereka sendiri, mereka mendapat cintaku dengan keunikan mereka sendiri.

***

Mereka berlarian kecil sambil berteriak, ‘Ibu, ibu’ dan bergegas menghampiriku yang berjalan perlahan menuju pelataran sekolah. Semua berebut ingin menyalami, semua berebut ingin lebih dulu, padahal apalah artinya aku? Seorang mahasiswa tingkat dua yang masih ingusan dan tidak mengerti hitam putihnya dunia pendidikan. Mereka sepertinya datang ke sekolah untuk menghadiri sekolah terbuka atau sekedar ngabuburit daripada menghabiskan waktu menonton televisi di rumah. Beberapa dari mereka mengekor diriku tanpa tujuan, hanya ingin tahu apa yang aku lakukan di sekolah di hari yang beranjak petang. Ini memang belum saatnya berbuka puasa, masih sekitar dua jam lagi.

Tapi semua berhenti mengekor ketika aku berjalan semakin menjauhi sekolah. Ya, memang bukan sekolah yang kutuju. Gerakanku mantap menuju ke kebun belakang sekolah, lalu terus melewati kebun singkong yang tak terurus. Anak-anak berhenti mengekor, mereka pergi dengan wajah kecewa ketika aku menolak untuk ditemani ke tempat yang aku tuju.

Aku pergi menuju rumah Nabila. Perempuan mungil di kelasku yang cerdas dan multitalent. Ia jarang sekali berekspresi, atau bahkan berbicara. Wajahnya datar, bahkan terkesan  tidak bersahabat. Pekerjaannya selalu sempurna dan jarang sekali ia melakukan kesalahan. Menulis angka, huruf, mengeja, semuanya sudah dikuasainya. Tulisannya khas dan rapi untuk ukuran murid kelas 1 SD. Hal ini membuat aku yakin ia akan menjadi bintang kelas di akhir tahun nanti.

Jalan menuju rumah Nabila cukup sulit untuk dilalui. Kebun singkong yang tak terurus, pohon bambu yang tumbuh rimbun, jembatan yang reyot, jalan setapak berbatu, dan kolam ikan mas sepertinya cukup membahayakan untuk dilaluimurid kelas satu SD. Aku sendiri cukup ngeri membayangkan Nabila pulang sendirian setiap usai sekolah.

Ketika aku sampai, rumah dengan pagar biru itu terlihat lengang. Aku masuk dan mengucapkan salam sekaligus memanggil nama Nabila. Sore ini aku menjemputnya untuk latihan mewarnai di sekolah, karena sudah dua kali ia tidak datang. Entah karena hal apa, aku ingin mencari tahu.

Terlihat sesosok wanita muda keluar dari pintu belakang. Perempuan dengan potongan rambut pendek itu tampaknya bingung dengan kedatanganku.

“Siapa ya?” tanyanya hati-hati.

“Saya gurunya Nabila di sekolah. Pengen jemput Nabila untuk latihan mewarnai, Bu. Insyaallah Nabila mewakili sekolah untuk lomba mewarnai antar SD minggu depan, tapi udah dua kali engga dateng terus. Jadinya saya jemput deh.” Ucapku tak kalah hati-hatinya. Wajah perempuan itu terlihat lembut dan keibuan, namun aku tak ingin terlihat sok tahu atau tak sopan.

Seketika wajahnya penuh dengan senyuman, “Oh, ibu gurunya Nabila. Sebentar sebentar…” ia masuk ke dalam dengan tergopoh-gopoh, “Nabila, Nabila, ini ada ibu gurunya, ayo keluar dulu!”

Tak lama ia keluar lagi dengan membawa dua kursi lipat, “Silahkan, Bu. Maaf seadanya. Nabila engga ada yang anter, makanya dia engga dateng terus untuk latihan, Bu.”

Aku tersenyum maklum, “Engga papa kok, Bu. Untuk seterusnya nanti saya yang menjemput Nabila jika tidak ada yang mengantar dari rumah.”

“Iya jadi ada yang sakit di..”

“Aduuhh!”

Ucapan perempuan lembut tadi terpotong dengan suara keras dari dalam rumah. Ia kemudian tergopoh-gopoh masuk tanpa mengucapkan apapun kepadaku yang termangu di luar rumah.

Ada apa?

Lalu kemudian terdengar jeritan tak jelas lainnya. Aku memasang telinga baik-baik, namun tak terdengar suara apapun lagi setelah itu.

“Aduh, punten, Bu. Itu adik saya yang sakit. Disini semuanya sibuk mengurus adik saya, jadi engga sempet untuk mengantar Nabila. Kalo ibu engga keberatan Alhamdulillah bisa menjemput Nabila.” Ucapnya pelan dan terdengar khawatir.

Tak lama kemudian Nabila keluar dari rumah dengan tas merah jambunya. Ia sudah rapi dan siap untuk pergi.

“Saya titip Nabila ya, Bu. Pulang bawa piala ya sayang.” Ucapnya sambil mengecup dahi Nabila penuh sayang.

Aku mengangguk perlahan dengan mata penuh dengan tanda tanya. Tapi mulutku terkunci, ada rasa sungkan jika harus bertanya lebih jauh.

“Permisi, Bu.” Ku anggukkan kepala seraya mengucap salam.

Rumah berpagar biru itu semakin jauh, dan entah mengapa tiba-tiba kutanyakan pertanyaan ini kepada Nabila yang menggenggam tanganku erat.

“Nabila, biasanya dianter siapa ke sekolah?”

“Nenek.” Jawabnya pendek. Matanya lurus menatap jalan setapak di depan. Aku melepaskan tangannya karena jalan itu tidak muat untuk kami berdua.

“Memangnya ibu Nabila kemana?”

Ia menggeleng pelan, “Engga ada. Tinggal di tempat lain.”

Sejenak aku terdiam. Jadi perempuan lembut tadi bukan ibunya?

“Kalo ayah?”

“Setiap hari kerja, jadi aku dianter nenek.”

Kuhentikan pertanyaanku disitu. Tidak, tidak, ini urusan mereka. Yang aku tahu anak-anak tidak pernah berbohong, apalagi anak kelas satu SD. Dalam perjalanan aku merangkum data-data acak yang berlarian dalam otakku. Mencoba merangkainya menjadi satu kesimpulan yang rasional untuk dicerna logika.

Ah, untuk apa. Tidak penting urusan keluarga Nabila, yang aku tahu ia anak jenius yang unggul dalam pelajaran. Ia bintang kelasku dengan segala keistimewaannya. Walau ia jarang tersenyum, walau terlihat ia seperti anak kecil yang memiliki beban tersendiri dalam dirinya, walau ia jarang berekspresi, ia tetap menjadi anak muridku yang spesial dengan caranya sendiri.
***

Ia menatap pintu dengan wajahnya yang tak terdeskripsikan. Entah apa yang ia pikirkan, aku tak pernah bisa menebaknya, seperti puzzle yang belum selesai dirangkai, seperti langkah catur yang akan diambil lawan.

“Didi, ayo masuk dulu, waktu istirahat masih lama loh.” Aku menarik tangannya pelan sambil menunjuk tempat duduknya yang berantakan. Bukunya berserakan, tasnya terbuka, pensil dan spidolnya tak beraturan, sementara anak-anak lain sedang serius menulis angka tujuh sebanyak dua baris di buku tulis masing-masing.

Tapi Didi justru menghilang di balik pintu yang terbuka lebar. Anak-anak yang lain mulai terusik, ingin ikutan keluar kelas dan bermain ayunan di luar. Damar dan Rizki yang pertama mengambil ancang-ancang.

“Eehh, apa ibu bilang? Belum waktunya istirahat. Ayo bikin dulu yang banyak angka tujuh nya!” nada suaraku sedikit naik. Terlihat rona kesal di wajah kedua soulmate ini. Mereka kembali ke tempat duduk dan mulai menulis lagi.

Aku menatap Sani, mengatakan lewat kontak mata bahwa aku keluar sebentar untuk menjemput Didi. Sani, partner mengajarku mengangguk dan mulai mengawasi anak-anak lebih ketat.

“Didi, ayo yuk masuk lagi. Abis ini kita mau menggambar loh, asik deh, ikut ibu menggambar yuk!” kataku pelan sambil mengulurkan tangan pada anak bermata sendu yang tengah meringkuk di ujung ayunan.

Ia menggeleng pelan, semakin menarik dirinya dalam ayunan berkerangka bulat berwarna-warni itu. Aku menghela nafas. Anak ini memang membutuhkan satu guru di sampingnya, untuk mengajarinya membuat angka dan huruf, atau sekedar membuat bulatan besar dalam menggambar jeruk.

Didi mudah sekali kehilangan kosentrasi, ia mencari perhatian gurunya dengan mengusili anak-anak lain. Entah mencoret buku temannya, menyembunyikan pensil dan penghapus anak lain, atau sekedar mencubit dan mencium anak lain.

“Ayo, engga papa, kan asik menggambar. Bikin jeruk lagi yuk yang banyak kayak kemarin.” Kataku masih dengan nada membujuk.

Ia masih tak bergeming. Kemudian ibunya datang dengan mimik lelah, “Emang begitu Bu, waktu PAUD juga dia mah engga mau ini engga mau itu,” katanya sambil duduk membelakangi Didi.

“Hayu, Ibu gendong.” Didi naik ke punggung ibunya, lalu memeluk leher wanita setengah baya yang sudah pantas untuk pensiun itu.

Then I feel the butterfly. Rasa aneh yang menjalari dada saya, perih dan miris terasa dalam sekali tusuk. Anak-anak memiliki banyak sekali potensi dalam dirinya, namun ketika orangtua memiliki keterbatasan ekonomi dan gizi yang dikonsumsi sewaktu kehamilan kurang mencukupi, jadilah anak dengan gizi buruk yang potensinya meredup.

Otaknya juga tidak berkembang sebagaimana mestinya. Ada beberapa bagian yang mungkin terlambat berkembang tidak seperti anak lain yang bergizi cukup. Didi salah satunya. Ia mengalami kejang-kejang sehingga mungkin mematikan beberapa syaraf otaknya.

Matanya redup, kulitnya pucat, tingkah lakunya pun cenderung labil. Terkadang ia aktif, namun banyak waktu ia pasif sekali. Perlu kesabaran ekstra untuk menyuruhnya mengerjakan perintah, seperti menulis angka dan huruf layaknya anak lain. Ia sering berlindung di balik tubuh ibunya, dan juga sering mencari perhatian berlebihan.

Aku mengikuti ibu Didi dari belakang hingga ke depan pintu masuk. Kemudian kugamit tangan mungil Didi yang sepertinya mudah sekali rapuh, membimbingnya ke dalam kelas yang ramai dengan teriakan anak-anak, dan entah kenapa kurasakan sebuah beban baru.

Sebuah bisikan dari sorot mata ibu Didi yang lelah.

Kutitipkan anakku untuk kau didik di sekolah.

Kututup pintu kelas dan kubelai kepala Didi pelan. Dia spesial, bahkan sangat spesial, dan aku mencintainya dengan segala kekurangannya.

***

Kugerakkan tangannya yang mungil menelusuri kertas gambar yang mulai kusam karena telah dihapus sana sini. Gerakan tangan kirinya kaku sekali, bahkan untuk mengambar angka empat. Sudah kubuatkan diatasnya sebaris angka empat dan kuminta ia mengikutinya, tapi yang terlihat justru tulisan cakar ayam yang tidak beraturan.

“Rehan, coba liat, jangan kemana-mana matanya. Buat empat itu, bikin garis lurus, terus segitiga di sebelah kiri. Coba ikutin, garis lurus, segitiga di kiri. Garis lurus, segitiga di kiri.” Ucapku sambil terus menggengam tangan kirinya.

Ya, Rehan murid spesialku lainnya. Ia kidal dan kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Semua temannya, bahkan Didi, sudah bisa menulis angka dan huruf dengan lancar, hanya Rehan yang masih tersendat-sendat.

“Lurus, segitiga di kiri.” Ucapnya pelan sambil terus mengikuti gambar angka empat yang kubuat di buku gambarnya.

“Rehan heh! Ayo nulis yang bener! Jangan main terus!” seseorang berteriak dari arah luar kelas. Aku tersentak kaget dengan kerasnya suara itu. Kulihat seorang ibu setengah baya tengah mengintip dari balik kawat-kawat yang menutup jendela. Entah ibunya, bibinya, neneknya, atau sekedar pengantarnya saja.

Aku tersenyum menghampirinya sambil berkata pelan, “Sudah kok Bu, Rehan lagi nulis.”

Kulihat Rehan sibuk menghapus dan menghapus terus. Aku terkesiap dan langsung melihat hasil kerjanya. “Loh, kenapa? Itu tadi sudah bener kok. Kenapa dihapus?”

Rehan menggelengkan kepala serasa terus menghapus hasil kerjanya. Ya, kuakui memang belum terlalu rapih seperti anak lain, tapi Rehan sudah berusaha keras dan ku hargai itu.

“Lurus, segitiga di kiri.” Gumamnya pelan. Angka empat sukses dibuatnya dengan tangan kiri. Tidak rapih memang, tapi kusemangati Rehan untuk terus membuatnya tanpa terus menghapusnya lagi.

“Itu udah benar angka empat. Jangan dihapus terus. Sini ibu simpen penghapusnya.” Kutarik benda segiempat berwarna putih itu dari tangannya yang mengepal lalu kusimpan di kantong rok.

Aku kemudian meninggalkan Rehan untuk memeriksa anak-anak lain, tak lama kudengar teriakan yang sama dari arah luar kelas. Ibu yang sama, omelan yang sama.

Kudapati Rehan tengah mengaduk-aduk isi tasnya. Entah mengapa ia menunduk terus. Kuhampiri Rehan dan kudapati ia tengah mengusap matanya. Menangis, tapi tak kudengar suara isaknya. Ia merapihkan isi pensil warnanya yang berserakan. Menangis karena diusili teman? Atau menangis karena malu diteriaki di depan teman-temannya?

Aku mengelus dan mengusap air matanya pelan. “Engga papa, anak kuat engga boleh nangis. Coba ibu lihat angka empatnya mana. Mau ibu nilai dan dikasih bintang engga?” ucapku lembut.

Ia mengeluarkan buku gambarnya yang sudah tersimpan rapi di dalam tas, membuka halaman berisi coretan angka empat yang belum sempurna. Kutemukan banyak hapusan disana. Jelas Rehan menghapus dengan tangannya sendiri, hingga menyisakan jejak pensil kotor disana-sini.

Untuk apa terus menghapusnya? Bukankah pekerjaannya sudah benar?

Akhirnya kutemui Rehan dengan segala rasa mindernya. Ia mungkin terlambat dalam menulis angka dibanding temannya. Ia mungkin tak secerdas Nabila. Ia mungkin terus menghapus segala pekerjaannya yang dirasa tidak sempurna karena takut salah. Takut salah dan dimarahi. Takut salah dan akhirnya malu.

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia akan belajar untuk memaki.
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
(Dorothy Law Nolte)

Belum terlambat untuk mengubah itu semua. Akan kutanamkan semangat untuk mencoba, untuk tidak takut salah, untuk tidak malu jika salah kepada Rehan. Satu dari sekian banyak anak spesial di kelasku.

Kuambil buku gambar Rehan dan kutorehkan sebuah bintang besar disana. Untuk semangatmu, untuk pantang menyerahmu.

***

“Bu, memangnya ibu mau pergi ya?” sorot mata anak-anak seperti menembus ke dalam hati yang anehnya justru merasa bahagia.

Ya, dua minggu itu berakhir dan aku akan segera pulang. Ini bulan Ramadhan dan sudah pasti aku merindukan masakan rumah. Tapi ketika melihat sosok anak-anak yang menahan tangis, tiba-tiba aku dibebani rasa penyesalan. Menyesal karena ternyata mereka begitu menantikan sosok aku di kelas. Menyesal karena terbersit rasa senang akhirnya bisa meninggalkan desa yang jauh dari hiruk pikuk kota yang biasanya aku singgahi.

“Iya, ibu ngajarnya cuma dua minggu. Kalian belajar yang rajin ya sama ibu Murni nanti.” Ucapku lembut sambil mengelus kepala mereka satu per satu.

“Tapi nanti balik lagi Bu?”

Aku menatap Sani bingung. Lalu kudapati ia pun sama bingungnya denganku. Bagaimana menjelaskan kepada anak-anak bahwa kami tidak akan kembali mengajar disini?

Engga, tapi nanti kita sering main kok kesini. Kalian belajar yang rajin ya, engga boleh bolos sekolah, harus rajin masuk, biar cepet pintar.”

“Ya buu!” serempak mereka menjawab.

Perpisahan itu di depan mata. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang semua anak spesialku disini. Dua minggu itu terasa cepat dan belum banyak yang bisa kulakukan untuk mereka.

Namun kudapati Nabila sudah bisa bertanya tentang apa yang dikerjakannya, ‘Bu, begini, bu ini begini?’ dan kulihat ia tersenyum. Kudapati juga Didi bisa mengikuti pelajaran dengan baik, ia sudah mulai mengisi bukunya dengan tulisan angka dan huruf, walau masih jauh dari sempurna. Kulihat Rehan semangat mengerjakan tugas yang kuberikan dan tidak lagi menghapus setiap pekerjaannya. Ada Damar dan Rizki yang tidak kompakan dalam bolos, mereka lebih rajin sekolah. Ada Zein yang terus menjadi anak paling sopan di kelas, ada Sari yang terus bersemangat menjadi yang terbaik mengalahkan Nabila, ada Alvin dan Ubay yang tidak pernah lelah untuk mengoleksi bintang di buku tulis mereka, ada Farrel dan Nadia yang masih berusaha menulis nama mereka dengan benar, ada Ilham ketua kelas yang terus menjadi anak paling semangat datang ke sekolah, dan ada Andri, Dani, juga Selfi yang pengertian untuk melerai teman-temannya yang bertengkar.

Mereka spesial dengan cara mereka sendiri, dan aku mencintai mereka dengan keunikan mereka sendiri.

***

Perjalanan pulang menuju tempat kost rasanya melelahkan, apalagi setelah perdebatan panjang antar mahasiswa yang terkadang tidak menemui titik penyelesaian. Padahal kata pak Dahlan Iskan, kalau kita hanya sering rapat dan berdebat akan ketinggalan oleh negara tetangga yang bekerja dan sedikit bicara.

Rasa lelah itu semakin menjadi ketika kulihat segerombolan anak kecil berseragam merah putih melewatiku begitu saja. I feel the butterfly. Ada rasa yang tak biasa menyerang hati.

Kosong. Rindu.

Kekosongan akan tingkah mereka, rindu akan polah mereka.

Biasanya kudapati segerombolan anak-anak itu lari menghampiriku dari kejauhan. Mereka berebut menyalamiku, berebut untuk lebih dulu. Padahal semua sama saja, akan dapat gilirannya. Tapi bukan kehormatan dari sikap menyalami mereka yang aku rindukan, namun keriangan mereka menyambutku untuk segera mengajar di kelas.

Kapan, Bu ngajar lagi?

Bulir Kristal jatuh dari mataku tanpa terasa.

***

Anak-anak spesial yang saya ceritakan diatas lahir dalam kondisi keluarga yang berbeda. Baik dilihat dari segi ekonomi maupun background pendidikan orang tua masing-masing. Namun karena kesamaan tepat tinggal, akhirnya mereka bersekolah di tempat yang sama dengan kualitas sekolah yang masih di bawah standar. Gedung sekolah  yang nyaris roboh, jumlah guru yang sedikit, dan ruang kelas yang tidak mencukupi jumlah murid sehingga sekolah di bagi menjadi dua shift yaitu pagi dan siang. Keterbatasan keadaan seperti itu tentunya banyak membelenggu potensi yang ada dalam diri anak-anak. Namun, jika bisa ditutupi dengan kualitas guru yang baik, keterbatasan infrastruktur sekolah bukan lagi menjadi keadaan yang menyulitkan.

Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi role model dan sosok yang diteladani oleh murid-murid yang masih polos itu. Ketika orang tua di rumah memiliki kemampuan terbatas dalam mengajari anak-anak, biasanya para orang tua akan mempercayakan sepenuhnya pengajaran kepada guru di sekolah, baik dalam bidang akademik maupun budi pekerti.

Kita tengok Andrea Hirata dalam novel tetraloginya Laskar Pelangi. Sosok kepala sekolah dan ibu guru Khadijah begitu lekat dalam memori kita sebagai idola anak-anak tersebut. Sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang sebenarnya, yang mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dan berjuang untuk kemajuan pendidikan Indonesia.

Melalui kehidupan dua minggu bersama anak-anak spesial ini saya sadar bahwa pendidikan usia dini itu sangat penting. Pemilihan sekolah yang baik dan cocok dengan karakter anak, serta memiliki kualitas guru yang baik, sangat berpengaruh dalam membangun potensi dan bakat anak ke depannya. Orang tua harus lebih berperan aktif dalam mendorong anak untuk sadar akan potensinya di masa-masa sekolah ini. Semua anak spesial dengan caranya masing-masing. Ada yang pintar dalam pelajaran, ada yang dalam bidang olahraga, ada yang bidang seni, dan lain-lain. Jangan terpaku pada nilai-nilai rapot saja, tapi fokuslah pada bakatnya.

Melalui kehidupan dua minggu bersama anak-anak spesial ini juga menyadarkan saya untuk berkontribusi menjadi pengajar di institusi pendidikan jika sudah lulus kuliah nanti. Seperti kata bapak Anies Baswedan, saya akan membayar lunas janji kemerdekaan kepada Indonesia, yaitu mencerdaskan anak bangsa.

***



*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba gerakan indonesia berkibar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...