image is taken from here |
“Every child is special”.
That’s the tagline of Taare Zameen movie. Film tentang anak disleksia yang mengalami
‘pengucilan’ dari lingkungan sekitarnya. Bukan hanya dari sekolah, teman, namun
keluarganya juga ikut mengirimnya ke sekolah berasrama. Tapi tidak, jangan
salahkan mereka karena hal tersebut, itu karena mereka tidak tahu bahwa anak
mereka terkena penyakit yang sama yang juga menyerang Albert Einstein.
Begitu pun dengan
anak-anak SD Leuweung Kolot 07, terutama anak kelas satu SD yang menjadi bagian
dari diriku selama dua minggu. Mereka dengan kesederhanaan dan kepolosan khas
anak-anak sukses menghipnotisku untuk mencintai mereka lebih dalam. Mereka
spesial dengan cara mereka sendiri, mereka mendapat cintaku dengan keunikan
mereka sendiri.
***
Mereka berlarian kecil sambil berteriak, ‘Ibu, ibu’
dan bergegas menghampiriku yang berjalan perlahan menuju pelataran sekolah.
Semua berebut ingin menyalami, semua berebut ingin lebih dulu, padahal apalah
artinya aku? Seorang mahasiswa tingkat dua yang masih ingusan dan tidak
mengerti hitam putihnya dunia pendidikan. Mereka sepertinya datang ke sekolah
untuk menghadiri sekolah terbuka atau sekedar ngabuburit daripada menghabiskan waktu menonton televisi di rumah. Beberapa
dari mereka mengekor diriku tanpa tujuan, hanya ingin tahu apa yang aku lakukan
di sekolah di hari yang beranjak petang. Ini memang belum saatnya berbuka puasa,
masih sekitar dua jam lagi.
Tapi semua berhenti mengekor ketika aku berjalan
semakin menjauhi sekolah. Ya, memang bukan sekolah yang kutuju. Gerakanku
mantap menuju ke kebun belakang sekolah, lalu terus melewati kebun singkong
yang tak terurus. Anak-anak berhenti mengekor, mereka pergi dengan wajah kecewa
ketika aku menolak untuk ditemani ke tempat yang aku tuju.
Aku pergi menuju rumah Nabila. Perempuan mungil di
kelasku yang cerdas dan multitalent.
Ia jarang sekali berekspresi, atau bahkan berbicara. Wajahnya datar, bahkan
terkesan tidak bersahabat. Pekerjaannya
selalu sempurna dan jarang sekali ia melakukan kesalahan. Menulis angka, huruf,
mengeja, semuanya sudah dikuasainya. Tulisannya khas dan rapi untuk ukuran
murid kelas 1 SD. Hal ini membuat aku yakin ia akan menjadi bintang kelas di
akhir tahun nanti.
Jalan menuju rumah Nabila cukup sulit untuk dilalui.
Kebun singkong yang tak terurus, pohon bambu yang tumbuh rimbun, jembatan yang
reyot, jalan setapak berbatu, dan kolam ikan mas sepertinya cukup membahayakan
untuk dilaluimurid kelas satu SD. Aku sendiri cukup ngeri membayangkan Nabila
pulang sendirian setiap usai sekolah.
Ketika aku sampai, rumah dengan pagar biru itu
terlihat lengang. Aku masuk dan mengucapkan salam sekaligus memanggil nama
Nabila. Sore ini aku menjemputnya untuk latihan mewarnai di sekolah, karena
sudah dua kali ia tidak datang. Entah karena hal apa, aku ingin mencari tahu.
Terlihat sesosok wanita muda keluar dari pintu
belakang. Perempuan dengan potongan rambut pendek itu tampaknya bingung dengan
kedatanganku.
“Siapa ya?” tanyanya hati-hati.
“Saya gurunya Nabila di sekolah. Pengen jemput Nabila untuk latihan
mewarnai, Bu. Insyaallah Nabila mewakili sekolah untuk lomba mewarnai antar SD
minggu depan, tapi udah dua kali engga dateng terus. Jadinya saya jemput deh.” Ucapku tak kalah hati-hatinya.
Wajah perempuan itu terlihat lembut dan keibuan, namun aku tak ingin terlihat
sok tahu atau tak sopan.
Seketika wajahnya penuh dengan senyuman, “Oh, ibu
gurunya Nabila. Sebentar sebentar…” ia masuk ke dalam dengan tergopoh-gopoh,
“Nabila, Nabila, ini ada ibu gurunya, ayo keluar dulu!”
Tak lama ia keluar lagi dengan membawa dua kursi
lipat, “Silahkan, Bu. Maaf seadanya. Nabila engga
ada yang anter, makanya dia engga dateng terus untuk latihan, Bu.”
Aku tersenyum maklum, “Engga papa kok, Bu. Untuk seterusnya nanti saya yang menjemput
Nabila jika tidak ada yang mengantar dari rumah.”
“Iya jadi ada yang sakit di..”
“Aduuhh!”
Ucapan perempuan lembut tadi terpotong dengan suara
keras dari dalam rumah. Ia kemudian tergopoh-gopoh masuk tanpa mengucapkan
apapun kepadaku yang termangu di luar rumah.
Ada apa?
Lalu kemudian terdengar jeritan tak jelas lainnya.
Aku memasang telinga baik-baik, namun tak terdengar suara apapun lagi setelah
itu.
“Aduh, punten,
Bu. Itu adik saya yang sakit. Disini semuanya sibuk mengurus adik saya, jadi engga sempet untuk mengantar
Nabila. Kalo ibu engga keberatan Alhamdulillah bisa menjemput Nabila.”
Ucapnya pelan dan terdengar khawatir.
Tak lama kemudian Nabila keluar dari rumah dengan
tas merah jambunya. Ia sudah rapi dan siap untuk pergi.
“Saya titip Nabila ya, Bu. Pulang bawa piala ya
sayang.” Ucapnya sambil mengecup dahi Nabila penuh sayang.
Aku mengangguk perlahan dengan mata penuh dengan
tanda tanya. Tapi mulutku terkunci, ada rasa sungkan jika harus bertanya lebih
jauh.
“Permisi, Bu.” Ku anggukkan kepala seraya mengucap
salam.
Rumah berpagar biru itu semakin jauh, dan entah
mengapa tiba-tiba kutanyakan pertanyaan ini kepada Nabila yang menggenggam
tanganku erat.
“Nabila, biasanya dianter siapa ke sekolah?”
“Nenek.” Jawabnya pendek. Matanya lurus menatap
jalan setapak di depan. Aku melepaskan tangannya karena jalan itu tidak muat
untuk kami berdua.
“Memangnya ibu Nabila kemana?”
Ia menggeleng pelan, “Engga ada. Tinggal di tempat lain.”
Sejenak aku terdiam. Jadi perempuan lembut tadi bukan ibunya?
“Kalo ayah?”
“Setiap hari kerja, jadi aku dianter nenek.”
Kuhentikan pertanyaanku disitu. Tidak, tidak, ini
urusan mereka. Yang aku tahu anak-anak tidak pernah berbohong, apalagi anak
kelas satu SD. Dalam perjalanan aku merangkum data-data acak yang berlarian
dalam otakku. Mencoba merangkainya menjadi satu kesimpulan yang rasional untuk
dicerna logika.
Ah, untuk apa. Tidak penting urusan keluarga Nabila,
yang aku tahu ia anak jenius yang unggul dalam pelajaran. Ia bintang kelasku
dengan segala keistimewaannya. Walau ia jarang tersenyum, walau terlihat ia
seperti anak kecil yang memiliki beban tersendiri dalam dirinya, walau ia
jarang berekspresi, ia tetap menjadi anak muridku yang spesial dengan caranya
sendiri.
***
Ia menatap pintu dengan wajahnya yang tak
terdeskripsikan. Entah apa yang ia pikirkan, aku tak pernah bisa menebaknya,
seperti puzzle yang belum selesai
dirangkai, seperti langkah catur yang akan diambil lawan.
“Didi, ayo masuk dulu, waktu istirahat masih lama loh.” Aku menarik tangannya pelan sambil
menunjuk tempat duduknya yang berantakan. Bukunya berserakan, tasnya terbuka,
pensil dan spidolnya tak beraturan, sementara anak-anak lain sedang serius
menulis angka tujuh sebanyak dua baris di buku tulis masing-masing.
Tapi Didi justru menghilang di balik pintu yang
terbuka lebar. Anak-anak yang lain mulai terusik, ingin ikutan keluar kelas dan
bermain ayunan di luar. Damar dan Rizki yang pertama mengambil ancang-ancang.
“Eehh, apa ibu bilang? Belum waktunya istirahat. Ayo
bikin dulu yang banyak angka tujuh nya!” nada suaraku sedikit naik. Terlihat
rona kesal di wajah kedua soulmate ini.
Mereka kembali ke tempat duduk dan mulai menulis lagi.
Aku menatap Sani, mengatakan lewat kontak mata bahwa
aku keluar sebentar untuk menjemput Didi. Sani, partner mengajarku mengangguk
dan mulai mengawasi anak-anak lebih ketat.
“Didi, ayo yuk
masuk lagi. Abis ini kita mau menggambar loh,
asik deh, ikut ibu menggambar yuk!” kataku pelan sambil mengulurkan
tangan pada anak bermata sendu yang tengah meringkuk di ujung ayunan.
Ia menggeleng pelan, semakin menarik dirinya dalam
ayunan berkerangka bulat berwarna-warni itu. Aku menghela nafas. Anak ini
memang membutuhkan satu guru di sampingnya, untuk mengajarinya membuat angka
dan huruf, atau sekedar membuat bulatan besar dalam menggambar jeruk.
Didi mudah sekali kehilangan kosentrasi, ia mencari
perhatian gurunya dengan mengusili anak-anak lain. Entah mencoret buku
temannya, menyembunyikan pensil dan penghapus anak lain, atau sekedar mencubit
dan mencium anak lain.
“Ayo, engga papa,
kan asik menggambar. Bikin jeruk lagi yuk
yang banyak kayak kemarin.” Kataku masih dengan nada membujuk.
Ia masih tak bergeming. Kemudian ibunya datang
dengan mimik lelah, “Emang begitu Bu, waktu PAUD juga dia mah engga mau ini engga
mau itu,” katanya sambil duduk membelakangi Didi.
“Hayu, Ibu gendong.” Didi naik ke punggung ibunya,
lalu memeluk leher wanita setengah baya yang sudah pantas untuk pensiun itu.
Then I feel the
butterfly. Rasa aneh yang
menjalari dada saya, perih dan miris terasa dalam sekali tusuk. Anak-anak memiliki
banyak sekali potensi dalam dirinya, namun ketika orangtua memiliki
keterbatasan ekonomi dan gizi yang dikonsumsi sewaktu kehamilan kurang
mencukupi, jadilah anak dengan gizi buruk yang potensinya meredup.
Otaknya juga tidak berkembang sebagaimana mestinya.
Ada beberapa bagian yang mungkin terlambat berkembang tidak seperti anak lain
yang bergizi cukup. Didi salah satunya. Ia mengalami kejang-kejang sehingga
mungkin mematikan beberapa syaraf otaknya.
Matanya redup, kulitnya pucat, tingkah lakunya pun
cenderung labil. Terkadang ia aktif, namun banyak waktu ia pasif sekali. Perlu
kesabaran ekstra untuk menyuruhnya mengerjakan perintah, seperti menulis angka
dan huruf layaknya anak lain. Ia sering berlindung di balik tubuh ibunya, dan
juga sering mencari perhatian berlebihan.
Aku mengikuti ibu Didi dari belakang hingga ke depan
pintu masuk. Kemudian kugamit tangan mungil Didi yang sepertinya mudah sekali
rapuh, membimbingnya ke dalam kelas yang ramai dengan teriakan anak-anak, dan
entah kenapa kurasakan sebuah beban baru.
Sebuah bisikan dari sorot mata ibu Didi yang lelah.
Kutitipkan
anakku untuk kau didik di sekolah.
Kututup pintu kelas dan kubelai kepala Didi pelan.
Dia spesial, bahkan sangat spesial, dan aku mencintainya dengan segala
kekurangannya.
***
Kugerakkan tangannya yang mungil menelusuri kertas
gambar yang mulai kusam karena telah dihapus sana sini. Gerakan tangan kirinya
kaku sekali, bahkan untuk mengambar angka empat. Sudah kubuatkan diatasnya
sebaris angka empat dan kuminta ia mengikutinya, tapi yang terlihat justru
tulisan cakar ayam yang tidak beraturan.
“Rehan, coba liat, jangan kemana-mana matanya. Buat
empat itu, bikin garis lurus, terus segitiga di sebelah kiri. Coba ikutin,
garis lurus, segitiga di kiri. Garis lurus, segitiga di kiri.” Ucapku sambil
terus menggengam tangan kirinya.
Ya, Rehan murid spesialku lainnya. Ia kidal dan
kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Semua temannya, bahkan Didi, sudah bisa
menulis angka dan huruf dengan lancar, hanya Rehan yang masih tersendat-sendat.
“Lurus, segitiga di kiri.” Ucapnya pelan sambil
terus mengikuti gambar angka empat yang kubuat di buku gambarnya.
“Rehan heh!
Ayo nulis yang bener! Jangan main terus!” seseorang berteriak dari arah luar
kelas. Aku tersentak kaget dengan kerasnya suara itu. Kulihat seorang ibu
setengah baya tengah mengintip dari balik kawat-kawat yang menutup jendela.
Entah ibunya, bibinya, neneknya, atau sekedar pengantarnya saja.
Aku tersenyum menghampirinya sambil berkata pelan,
“Sudah kok Bu, Rehan lagi nulis.”
Kulihat Rehan sibuk menghapus dan menghapus terus.
Aku terkesiap dan langsung melihat hasil kerjanya. “Loh, kenapa? Itu tadi sudah
bener kok. Kenapa dihapus?”
Rehan menggelengkan kepala serasa terus menghapus
hasil kerjanya. Ya, kuakui memang belum terlalu rapih seperti anak lain, tapi
Rehan sudah berusaha keras dan ku hargai itu.
“Lurus, segitiga di kiri.” Gumamnya pelan. Angka
empat sukses dibuatnya dengan tangan kiri. Tidak rapih memang, tapi kusemangati
Rehan untuk terus membuatnya tanpa terus menghapusnya lagi.
“Itu udah benar angka empat. Jangan dihapus terus.
Sini ibu simpen penghapusnya.” Kutarik benda segiempat berwarna putih itu dari
tangannya yang mengepal lalu kusimpan di kantong rok.
Aku kemudian meninggalkan Rehan untuk memeriksa
anak-anak lain, tak lama kudengar teriakan yang sama dari arah luar kelas. Ibu
yang sama, omelan yang sama.
Kudapati Rehan tengah mengaduk-aduk isi tasnya.
Entah mengapa ia menunduk terus. Kuhampiri Rehan dan kudapati ia tengah
mengusap matanya. Menangis, tapi tak kudengar suara isaknya. Ia merapihkan isi
pensil warnanya yang berserakan. Menangis karena diusili teman? Atau menangis
karena malu diteriaki di depan teman-temannya?
Aku mengelus dan mengusap air matanya pelan. “Engga papa, anak kuat engga boleh nangis. Coba ibu lihat angka
empatnya mana. Mau ibu nilai dan dikasih bintang engga?” ucapku lembut.
Ia mengeluarkan buku gambarnya yang sudah tersimpan
rapi di dalam tas, membuka halaman berisi coretan angka empat yang belum
sempurna. Kutemukan banyak hapusan disana. Jelas Rehan menghapus dengan
tangannya sendiri, hingga menyisakan jejak pensil kotor disana-sini.
Untuk apa terus
menghapusnya? Bukankah pekerjaannya sudah benar?
Akhirnya kutemui Rehan dengan segala rasa mindernya.
Ia mungkin terlambat dalam menulis angka dibanding temannya. Ia mungkin tak
secerdas Nabila. Ia mungkin terus menghapus segala pekerjaannya yang dirasa
tidak sempurna karena takut salah. Takut salah dan dimarahi. Takut salah dan
akhirnya malu.
Jika anak dibesarkan
dengan celaan, ia akan belajar untuk memaki.
Jika anak
dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah.
Jika anak
dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri.
Jika anak
dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah.
(Dorothy Law Nolte)
Belum terlambat untuk mengubah itu semua. Akan
kutanamkan semangat untuk mencoba, untuk tidak takut salah, untuk tidak malu
jika salah kepada Rehan. Satu dari sekian banyak anak spesial di kelasku.
Kuambil buku gambar Rehan dan kutorehkan sebuah bintang
besar disana. Untuk semangatmu, untuk
pantang menyerahmu.
***
“Bu, memangnya ibu mau pergi ya?” sorot mata
anak-anak seperti menembus ke dalam hati yang anehnya justru merasa bahagia.
Ya, dua minggu itu berakhir dan aku akan segera
pulang. Ini bulan Ramadhan dan sudah pasti aku merindukan masakan rumah. Tapi
ketika melihat sosok anak-anak yang menahan tangis, tiba-tiba aku dibebani rasa
penyesalan. Menyesal karena ternyata mereka begitu menantikan sosok aku di
kelas. Menyesal karena terbersit rasa senang akhirnya bisa meninggalkan desa
yang jauh dari hiruk pikuk kota yang biasanya aku singgahi.
“Iya, ibu ngajarnya cuma dua minggu. Kalian belajar
yang rajin ya sama ibu Murni nanti.” Ucapku lembut sambil mengelus kepala
mereka satu per satu.
“Tapi nanti balik lagi Bu?”
Aku menatap Sani bingung. Lalu kudapati ia pun sama
bingungnya denganku. Bagaimana menjelaskan kepada anak-anak bahwa kami tidak
akan kembali mengajar disini?
“Engga,
tapi nanti kita sering main kok kesini. Kalian belajar yang rajin ya, engga boleh bolos sekolah, harus rajin
masuk, biar cepet pintar.”
“Ya buu!” serempak mereka menjawab.
Perpisahan itu di depan mata. Tak banyak yang bisa
kuceritakan tentang semua anak spesialku disini. Dua minggu itu terasa cepat
dan belum banyak yang bisa kulakukan untuk mereka.
Namun kudapati Nabila sudah bisa bertanya tentang
apa yang dikerjakannya, ‘Bu, begini, bu ini begini?’ dan kulihat ia tersenyum.
Kudapati juga Didi bisa mengikuti pelajaran dengan baik, ia sudah mulai mengisi
bukunya dengan tulisan angka dan huruf, walau masih jauh dari sempurna. Kulihat
Rehan semangat mengerjakan tugas yang kuberikan dan tidak lagi menghapus setiap
pekerjaannya. Ada Damar dan Rizki yang tidak kompakan dalam bolos, mereka lebih
rajin sekolah. Ada Zein yang terus menjadi anak paling sopan di kelas, ada Sari
yang terus bersemangat menjadi yang terbaik mengalahkan Nabila, ada Alvin dan
Ubay yang tidak pernah lelah untuk mengoleksi bintang di buku tulis mereka, ada
Farrel dan Nadia yang masih berusaha menulis nama mereka dengan benar, ada
Ilham ketua kelas yang terus menjadi anak paling semangat datang ke sekolah,
dan ada Andri, Dani, juga Selfi yang pengertian untuk melerai teman-temannya
yang bertengkar.
Mereka spesial dengan cara mereka sendiri, dan aku mencintai
mereka dengan keunikan mereka sendiri.
***
Perjalanan pulang menuju tempat kost rasanya
melelahkan, apalagi setelah perdebatan panjang antar mahasiswa yang terkadang
tidak menemui titik penyelesaian. Padahal kata pak Dahlan Iskan, kalau kita
hanya sering rapat dan berdebat akan ketinggalan oleh negara tetangga yang
bekerja dan sedikit bicara.
Rasa lelah
itu semakin menjadi ketika kulihat segerombolan anak kecil berseragam merah
putih melewatiku begitu saja. I feel the
butterfly. Ada rasa yang tak biasa menyerang hati.
Kosong. Rindu.
Kekosongan akan tingkah mereka, rindu akan polah
mereka.
Biasanya kudapati segerombolan anak-anak itu lari
menghampiriku dari kejauhan. Mereka berebut menyalamiku, berebut untuk lebih
dulu. Padahal semua sama saja, akan dapat gilirannya. Tapi bukan kehormatan
dari sikap menyalami mereka yang aku rindukan, namun keriangan mereka
menyambutku untuk segera mengajar di kelas.
Kapan, Bu ngajar
lagi?
Bulir Kristal jatuh dari mataku tanpa terasa.
***
Anak-anak spesial yang saya ceritakan diatas lahir
dalam kondisi keluarga yang berbeda. Baik dilihat dari segi ekonomi maupun background pendidikan orang tua
masing-masing. Namun karena kesamaan tepat tinggal, akhirnya mereka bersekolah
di tempat yang sama dengan kualitas sekolah yang masih di bawah standar. Gedung
sekolah yang nyaris roboh, jumlah guru
yang sedikit, dan ruang kelas yang tidak mencukupi jumlah murid sehingga
sekolah di bagi menjadi dua shift yaitu pagi dan siang. Keterbatasan keadaan
seperti itu tentunya banyak membelenggu potensi yang ada dalam diri anak-anak.
Namun, jika bisa ditutupi dengan kualitas guru yang baik, keterbatasan
infrastruktur sekolah bukan lagi menjadi keadaan yang menyulitkan.
Oleh karena itu, seorang guru harus menjadi role model dan sosok yang diteladani
oleh murid-murid yang masih polos itu. Ketika orang tua di rumah memiliki
kemampuan terbatas dalam mengajari anak-anak, biasanya para orang tua akan
mempercayakan sepenuhnya pengajaran kepada guru di sekolah, baik dalam bidang
akademik maupun budi pekerti.
Kita tengok Andrea Hirata dalam novel tetraloginya
Laskar Pelangi. Sosok kepala sekolah dan ibu guru Khadijah begitu lekat dalam
memori kita sebagai idola anak-anak tersebut. Sosok pahlawan tanpa tanda jasa
yang sebenarnya, yang mendedikasikan hidupnya untuk berbagi dan berjuang untuk
kemajuan pendidikan Indonesia.
Melalui kehidupan dua minggu bersama anak-anak
spesial ini saya sadar bahwa pendidikan usia dini itu sangat penting. Pemilihan
sekolah yang baik dan cocok dengan karakter anak, serta memiliki kualitas guru
yang baik, sangat berpengaruh dalam membangun potensi dan bakat anak ke
depannya. Orang tua harus lebih berperan aktif dalam mendorong anak untuk sadar
akan potensinya di masa-masa sekolah ini. Semua anak spesial dengan caranya
masing-masing. Ada yang pintar dalam pelajaran, ada yang dalam bidang olahraga,
ada yang bidang seni, dan lain-lain. Jangan terpaku pada nilai-nilai rapot
saja, tapi fokuslah pada bakatnya.
Melalui kehidupan dua minggu bersama anak-anak
spesial ini juga menyadarkan saya untuk berkontribusi menjadi pengajar di
institusi pendidikan jika sudah lulus kuliah nanti. Seperti kata bapak Anies Baswedan,
saya akan membayar lunas janji kemerdekaan kepada Indonesia, yaitu mencerdaskan
anak bangsa.
***
*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba gerakan indonesia berkibar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar