image is taken from here |
Berada di Fateta, khususnya ITP, entah mengapa jadi sebuah
cerita tersendiri buat saya. Walau baru sekitar 3 bulan saya mengenal beberapa
diantara mereka, entah mengapa kok rasanya seperti sebuah keluarga. Yaa,
kebayang lah, untuk 3 tahun ke depan saya akan terus berinteraksi dengan
mereka, tiap hari, tiap minggu, bulan, dan tahun.
Semua itu gak cuma diisi dengan belajar dan kuliah, tapi
juga rasa solid yang sering digaungkan dengan jargon ‘we are the best’. Yang
annoying banget itu adalah ketika kamu diharuskan untuk menghadiri suatu
pertemuan yang cukup penting, kemudian harus ada kumpul ITP, or anything that
forced you to come, then kamu ga bisa datang, sindiran yang sering keluar dari
mulut anak ITP adalah, ‘Ciee, I’m the best nih ceritanya?’ ckck, menyebalkan
banget ketika kata-kata itu harus di dengar.
ITP terkenal dengan individualitasnya. Ketika kamu berada
dalam sebuah perkumpulan orang-orang pintar, mereka memiliki egoisme
sendiri-sendiri. Belum juga pemikiran, pendapat, prinsip, dan segala hal yang
membuat kita berbeda, akhirnya akan membuat kita mengambil jalan
sendiri-sendiri. Well, itu yang saya dengar DULU.
Setelah sekarang mengalaminya, berada di tengah-tengah ITP
48, autoclave ranger, entah mengapa semua isu individualitas itu GAK BENER.
Kita solid layaknya fateta, kita the best layaknya ITP yang seharusnya.
Waktu zaman ngurusin MPF, kayak biodata dosen fateta, MPD
dengan mars ITP nya yang susah dicari, pas kuliah ngurusin power searching
google, ngisi quiz penkom, ngerjain laporan mikdas, lagu mars ITP yang
diaransemen buat ngafalin 20 nama asam amino, sampe rangkuman UTS Kimpang di
share di grup ITP. Itu yang namanya individualis? Itu yang namanya Im the best?
I don’t think so ya, kita sama-sama mengejar ilmu, nilai, IP, prestasi, dan
segala hal yang patut dikejar di ITP, tapi kita ya ngejarnya dengan cara
masing-masing. Ketika memang patut dibantu, ya dibantu. Ketika kita harus
ngerjain semuanya sendiri-sendiri, kayak ujian, quiz di lab, ya ngerjain
sendiri.
Yang paling bikin terharunya lagi adalah, ketika kamu berada
dalam sebuah komunitas multiagama, dan kamu merasakan begitu indahnya
perbedaan. Gak ngerasa kalo agama ini lebih mayoritas, jadi berhak untuk
menentukan ini itu tanpa mempertimbangkan hak asasi agama lainnya.
Yang bilang islam teroris lah, agama ini sesat lah, buat
saya itu gak ngaruh ketika kamu punya iman dalam hati masing-masing. Tuhan
selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Soal agama siapa yang benar, itu
kembali kepada ajaran agama masing-masing. Kita hidup multiculture, multiagama,
apalagi di Indonesia. Ketika kamu bisa hidup damai dan tentram tanpa
mempermasalahkan masalah agama siapa yang paling benar, siapa yang salah,
kenapa harus diributkan sih?
Dulu Rasulullah SAW juga memperlakukan kaum kafir Quraish
dengan baik, tidak semena-mena. Rosul juga bersikap baik terhadap orang yang
melempari beliau dengan kotoran unta, bahkan mendoakannya. Ketika kita bisa
menyebarkan kebaikan, kenapa harus menyebar keburukan? Ketika kita bisa
menyebarkan rasa nyaman dalam perbedaan, kenapa harus mengungkit perbedaan itu
menjadi sebuah bara api?
Well, overall, berada di ITP bukan hanya tentang belajar
toleransi agama, tapi juga belajar motivasi menuntut ilmu, motivasi untuk jadi
lebih baik dan berprestasi, dan juga motivasi untuk memandang dari paradigm yang
berbeda tentang sebuah perbedaan.
Tulisan ini ada ketika saya tiba-tiba speechless di awal pagi, sebelum mata kuliah kimia pangan. Kanan kiri
saya adalah teman ITP, yang satu, sebut saja si A, beragama Kristen, yang satu,
sebut saja si B, beragama budha. Saya berada di tengah.
Ketika doa dimulai, kami khusyuk dengan doa masing-masing,
kepada Tuhan masing-masing, dengan tangan yang menengadah penuh harap dengan
cara masing-masing. Si A dengan tangannya yang menyilang di jari-jari tangan,
saling bertaut. Saya dengan kedua tangan yang terbuka, dan si B dengan kedua
tangan yang ditangkupkan di depan dada.
Ketika selesai pun, kami menutupnya dengan cara yang
berbeda. Si A dengan membuat tanda salib di dadanya, saya dengan menyapukan ke
kedua muka, dan si B yang saya lupa bagaimana, tapi tampaknya hanya diam saja.
Tapi bukan perbedaan yang saya lihat disana. Ini tentang
sebuah persamaan, bahwa kami bertiga, berdoa untuk kebaikan hari itu kepada
Tuhan Semesta Alam. Kebersamaan itu indah bukan? :)
ps : saya cantumkan link video tentang Einstein yang
menanyakan tentang perihal Tuhan kepada gurunya, what amazing video, just check
this out here.
Terima kasih banyak kak atas share pengalamannya. Sangat membantu khususnya bagi saya sebagai calon mahasiswa ITP IPB 2017. :) Semoga bisa terus share pengalamnnya ya kak.
BalasHapus