27 Oktober 2012

Berada di ITP IPB

image is taken from here

Berada di Fateta, khususnya ITP, entah mengapa jadi sebuah cerita tersendiri buat saya. Walau baru sekitar 3 bulan saya mengenal beberapa diantara mereka, entah mengapa kok rasanya seperti sebuah keluarga. Yaa, kebayang lah, untuk 3 tahun ke depan saya akan terus berinteraksi dengan mereka, tiap hari, tiap minggu, bulan, dan tahun.

Semua itu gak cuma diisi dengan belajar dan kuliah, tapi juga rasa solid yang sering digaungkan dengan jargon ‘we are the best’. Yang annoying banget itu adalah ketika kamu diharuskan untuk menghadiri suatu pertemuan yang cukup penting, kemudian harus ada kumpul ITP, or anything that forced you to come, then kamu ga bisa datang, sindiran yang sering keluar dari mulut anak ITP adalah, ‘Ciee, I’m the best nih ceritanya?’ ckck, menyebalkan banget ketika kata-kata itu harus di dengar.

ITP terkenal dengan individualitasnya. Ketika kamu berada dalam sebuah perkumpulan orang-orang pintar, mereka memiliki egoisme sendiri-sendiri. Belum juga pemikiran, pendapat, prinsip, dan segala hal yang membuat kita berbeda, akhirnya akan membuat kita mengambil jalan sendiri-sendiri. Well, itu yang saya dengar DULU.

Setelah sekarang mengalaminya, berada di tengah-tengah ITP 48, autoclave ranger, entah mengapa semua isu individualitas itu GAK BENER. Kita solid layaknya fateta, kita the best layaknya ITP yang seharusnya.

Waktu zaman ngurusin MPF, kayak biodata dosen fateta, MPD dengan mars ITP nya yang susah dicari, pas kuliah ngurusin power searching google, ngisi quiz penkom, ngerjain laporan mikdas, lagu mars ITP yang diaransemen buat ngafalin 20 nama asam amino, sampe rangkuman UTS Kimpang di share di grup ITP. Itu yang namanya individualis? Itu yang namanya Im the best? I don’t think so ya, kita sama-sama mengejar ilmu, nilai, IP, prestasi, dan segala hal yang patut dikejar di ITP, tapi kita ya ngejarnya dengan cara masing-masing. Ketika memang patut dibantu, ya dibantu. Ketika kita harus ngerjain semuanya sendiri-sendiri, kayak ujian, quiz di lab, ya ngerjain sendiri.

Yang paling bikin terharunya lagi adalah, ketika kamu berada dalam sebuah komunitas multiagama, dan kamu merasakan begitu indahnya perbedaan. Gak ngerasa kalo agama ini lebih mayoritas, jadi berhak untuk menentukan ini itu tanpa mempertimbangkan hak asasi agama lainnya.

Yang bilang islam teroris lah, agama ini sesat lah, buat saya itu gak ngaruh ketika kamu punya iman dalam hati masing-masing. Tuhan selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Soal agama siapa yang benar, itu kembali kepada ajaran agama masing-masing. Kita hidup multiculture, multiagama, apalagi di Indonesia. Ketika kamu bisa hidup damai dan tentram tanpa mempermasalahkan masalah agama siapa yang paling benar, siapa yang salah, kenapa harus diributkan sih?

Dulu Rasulullah SAW juga memperlakukan kaum kafir Quraish dengan baik, tidak semena-mena. Rosul juga bersikap baik terhadap orang yang melempari beliau dengan kotoran unta, bahkan mendoakannya. Ketika kita bisa menyebarkan kebaikan, kenapa harus menyebar keburukan? Ketika kita bisa menyebarkan rasa nyaman dalam perbedaan, kenapa harus mengungkit perbedaan itu menjadi sebuah bara api?

Well, overall, berada di ITP bukan hanya tentang belajar toleransi agama, tapi juga belajar motivasi menuntut ilmu, motivasi untuk jadi lebih baik dan berprestasi, dan juga motivasi untuk memandang dari paradigm yang berbeda tentang sebuah perbedaan.

Tulisan ini ada ketika saya tiba-tiba speechless di awal pagi, sebelum mata kuliah kimia pangan. Kanan kiri saya adalah teman ITP, yang satu, sebut saja si A, beragama Kristen, yang satu, sebut saja si B, beragama budha. Saya berada di tengah.

Ketika doa dimulai, kami khusyuk dengan doa masing-masing, kepada Tuhan masing-masing, dengan tangan yang menengadah penuh harap dengan cara masing-masing. Si A dengan tangannya yang menyilang di jari-jari tangan, saling bertaut. Saya dengan kedua tangan yang terbuka, dan si B dengan kedua tangan yang ditangkupkan di depan dada.

Ketika selesai pun, kami menutupnya dengan cara yang berbeda. Si A dengan membuat tanda salib di dadanya, saya dengan menyapukan ke kedua muka, dan si B yang saya lupa bagaimana, tapi tampaknya hanya diam saja.

Tapi bukan perbedaan yang saya lihat disana. Ini tentang sebuah persamaan, bahwa kami bertiga, berdoa untuk kebaikan hari itu kepada Tuhan Semesta Alam. Kebersamaan itu indah bukan? :)

ps : saya cantumkan link video tentang Einstein yang menanyakan tentang perihal Tuhan kepada gurunya, what amazing video, just check this out here.

1 komentar:

  1. Terima kasih banyak kak atas share pengalamannya. Sangat membantu khususnya bagi saya sebagai calon mahasiswa ITP IPB 2017. :) Semoga bisa terus share pengalamnnya ya kak.

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...