19 Oktober 2012

Antara Bata Tenggor, Engklek, dan Sistem Peredaran Darah Manusia

image is taken from here

Tengah hari itu begitu terik, matahari memancarkan sinarnya tak tanggung-tanggung, langsung membakar ke epidermis kami dan membuatnya legam mengkilat dilapisi keringat. Kami semua sedang melarikan diri dari bola kuning berukuran segenggaman tangan yang dibawa Ilham kesana kemari. Bola tenis itu kami gunakan untuk bermain bata tenggor, sebuah permainan yang entah asal usulnya dari mana, yang saat itu tengah famous di kalangan anak SD di kampung kami. 

Permainan itu cukup sederhana. Sejumlah anak yang bermain dibagi menjadi dua tim. Masing-masing tim yang diketuai satu anak itu suit untuk menentukan tim yang duluan main sebagai pemain, dan tim kalah yang main sebagai penjaga. Tim yang menjadi pemain akan melempar bola tenis ke arah susunan batu bata, membuatnya berantakan, kemudian berlari ke segala arah. Tim yang menjadi pemain berusaha untuk menyusun kembali batu bata tersebut sesuai ukurannya dari besar ke kecil, tanpa terkena pukulan bola tenis dari tim yang menjaga. Tugas tim penjaga adalah mengoper bola tenis antar timnya, untuk memukul tim pemain dengan bola tersebut. Bola tenis tidak bisa dibawa kemana-mana, seperti sistem double dalam basket, bola tersebut harus terus dioper sambil mengincar tim pemain yang berusaha menyusun batu bata.

Tim pemain menang jika berhasil menyusun kembali batu bata sesuai ukurannya tanpa mati atau pemainnya habis terkena pukul bola tenis. Jika semua pemain dari tim pemain mati terpukul dan batu bata belum tersusun, maka tim penjaga berhak untuk berganti posisi menjadi tim pemain. Begitu terus permainan bergulir layaknya bermain baseball dengan beberapa kali inning.

Namun, permainan yang tengah seru bergulir diiringi sorak-sorai tim pendukung dan tim yang bermain itu tiba-tiba saja senyap. Suara-suara seakan terbungkam dalam satu kotak Pandora yang kuncinya hilang.

“Praaangg!”

Kaca jendela ruang guru pecah. Semua anak beringsut menuju pinggir lapangan upacara dan tiba-tiba menghilang entah kemana. Saya masih termangu di tengah lapangan ketika tanpa sadar beberapa anak sudah pergi bersembunyi. Entah siapa yang melempar ke arah ruang guru dan tanpa sengaja memecahkan kacanya, namun saya, Ilham, Fauzi, Tuti, dan Nuron yang masih berada di lapangan upacara nampaknya harus siap untuk menerima semprotan kepala sekolah atas perbuatan yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawab kami.

Kumaha yeuh? Saha nu rek minta maap ka pak Parjo?” Pertanyaan Fauzi memecah keheningan. Bagaimana ini? Siapa yang akan meminta maaf ke Pak Parjo?

Kami para bocah kelas 4 SD saling menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Fauzi. Siapa juga yang berani berhadapan dengan kepala sekolah killer itu?

Keheningan itu dipecahkan dengan suara bel sekolah yang bunyinya nyaring seperti tukang es nong-nong. Kleneng, kleneng, kleneng. Bunyi bel tiga kali menandakan waktu istirahat habis. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kami berlima langsung berlari menuju kelas. Belum ada tanda-tanda seorang guru keluar dari ruang guru dengan kaca jendela yang pecah itu, dan debar dalam dada kami berlima masih belum reda.

Eh maneh mah kalah ninggalkeun urang! Saha eta nu rek tanggung jawab?” suara ribut di kelas terdengar dari kejauhan saat kami memasuki kelas. 

Beberapa anak yang ikut bermain dengan kami berlima yang tadi tertinggal di tengah lapangan mulai terlihat gelisah. Kaca jendela pecah memang bukan yang pertama kalinya di sekolah kami, beberapa bulan yang lalu kelas 6 memecahkannya saat bermain sepak bola di lapangan. Namun baru kali ini siswa kelas 4 SD yang memecahkannya dan kami terlalu takut untuk bertanggungjawab kepada para guru.

Keributan itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba seorang guru masuk ke kelas kami. Semua anak langsung duduk di tempat duduknya walau tanpa dikomando. Duduk siap, kepala tegak, tangan bersedekap di atas meja, dan pandangan lurus ke depan.

Bukan Pak Parjo yang masuk, justru seorang guru dengan kerudung krem dan baju khas PNS nya duduk dengan santai di kursi guru dan mulai mengeluarkan beberapa buku pelajaran.

Siapa sih?

Kami saling memandang satu sama lain tanpa suara. Jarang sekali ada guru baru di sekolah kami yang terletak di pedesaan ini. Gaji kecil, orang tua murid yang profesinya rata-rata buruh, dan pemahaman yang minim tentang pentingnya pendidikan membuat beberapa guru mundur untuk mau mengajar di desa kami.

“Siapa tadi yang memecahkan kaca jendela ruang guru?”

Suara perempuan berjilbab krem itu bulat dan terdengar tegas. Membuat bulu kuduk saya langsung berdiri, bukan karena takut, lebih karena ada rasa kagum disana.

Kelas senyap. Hanya terdengar bisik-bisik dan saling sikut satu sama lain.

“Ya! Kamu yang pake kerudung putih, ajak empat teman kamu yang tadi bengong di tengah lapangan upacara untuk ambil semua batu bata dan bola tenis tadi!” telunjuknya mengarah kepada saya tanpa ragu.

“Saya, Bu?” tanya saya ragu sambil menunjuk diri sendiri.

“Ya!”

Saya mencolek Tuti, Fauzi, Ilham dan Nuron untuk keluar kelas dan memunguti batu bata dan bola tenis yang tadi tergolek begitu saja di tengah lapangan.

Aduh ieu mah, hanjakal! Hanjakal!” Aduh, celaka! Celaka!

Nuron berkata dengan nada miris. Anak laki-laki yang agak kemayu itu memang baru kali ini ikut bermain bata tenggor dan langsung kena batunya. Tak heran jika lain kali ia menolak keras untuk ikut bermain lagi.

Geus lah, geura gancang!” Ya udah lah, cepetan deh!

Fauzi mendahului kami membawa masuk batu bata yang bisa ia temui dan genggam ke dalam kelas. Kami pun menyudahi pembicaraan bisik-bisik kami dan langsung menyusulnya ke dalam kelas.

Sesampainya di kelas, bukannya kelas hening yang kami dapati, justru kelas super ribut dengan anak-anak yang sibuk menggeser bangku dan meja ke sisi ruangan.

Aya naon yeuh?” Ada apa nih?

“Kita mau menggambar di tengah kelas, simpan batu bata dan bola tenis kalian di meja guru ya!” suara ibu guru berjilbab krem itu terdengar begitu manis di telinga saat menjawab pertanyaan Ilham.

Kami saling memandang penuh tanda tanya dan melakukan perintah beliau dalam diam. Setelah melakukan perintahnya, kami ikut merapikan bangku dan meja di sisi kelas sebelum akhirnya ikut berkumpul di tengah kelas bersama dengan guru nyentrik itu.

“Hari ini ibu dengar beberapa anak kelas 4 ada yang memecahkan kaca jendela ruang guru. Tapi ibu kesini bukan untuk memarahi, apalagi menghukum kalian. Tidak! Ibu kesini untuk mengajar. Ibu bersedia mengganti kaca ruang guru yang pecah asalkan kalian serius mendengarkan pelajaran IPA hari ini, dan di akhir pelajaran ibu akan memberikan tes. Jika nilai kalian bagus di tes itu, ibu bukan hanya mengganti kaca ruang guru, namun juga akan mengajarkan kalian bermain baseball di lapangan bola hari Minggu besok!”

Ibu guru yang mengenalkan diri bernama Ade Khodijah itu memang bukan guru biasa. Suaranya yang bulat, tegas, dan keras membuat kami sering kali tersentak dan terdiam. Tak heran jika perhatian kami langsung teralihkan menuju sumber suaranya dan tetap mendengarkan hingga ia selesai bicara. Kharisma perempuan Sunda ini begitu menyelimuti atmosfer kelas.

Ia mengambil kapur berwarna merah dan mulai menggambar sesuatu di tengah kelas. Beberapa bulatan besar, garis, tanda panah, dan kotak-kotak lain dengan berbagai warna kapur yang tak pernah kami lihat sebelumnya. Kapur selalu identik dengan warna putih dan baru kali ini kami melihat kapur berbagai warna.

Excited. Really excited with her.

Kami lalu diberikan beberapa pecahan batu bata dan pecahan genteng dari mejanya dan diminta untuk memperhatikannya yang tengah melepas sepatu haknya.

Mau apa?

“Pernah dengar permainan engklek?”

“Pernah Buuuu!”

“Ya, sekarang kita akan bermain engklek dengan gambar ini!” ibu Ade menunjuk gambar besarnya di tengah kelas dengan nada bangga. Raut heran dan bingung terpancar dari wajah kami masing-masing.

Engklek dimainkan dalam kotak-kotak berbentuk persegi dengan nomor di tengahnya yang membentuk seperti huruf T dengan setengah lingkaran di akhir bentuk T tersebut. Setiap anak kecil dalam masa saya pernah memainnkannya, dan bentuk yang digambar ibu Ade sama sekali bukan gambar untuk permainan engklek.

“Kenapa? Bingung?”

Kami semua mengangguk serempak.

“Begini cara mainnya! Ini adalah engklek sistem peredaran darah. Kalian tau engga, kalo darah di tubuh kalian mengalir ada jalurnya. Seperti mobil ada jalan khususnya. Sistem peredaran darah itu ada sistem peredaran darah kecil, dari bilik kanan, arteri, paru-paru, vena, lalu ke serambi kiri. Darah ini kaya akan oksigen, makanya warnanya merah. Ada lagi sistem peredaran darah besar, yaitu dari bilik kiri, ke pembuluh aorta, lalu ke arteri, ke jaringan tubuh, lalu ke vena, terakhir ke sambil kanan. Darahnya warnanya biru, karena kaya akan karbondioksida. Pertukarannya ada di paru-paru, oksigen dihirup, karbondioksida dibuang, darah yang kaya oksigen akan dibawa ke serambi kiri, darah dari seluruh tubuh yang kaya karbondioksida dibawa ke serambi kanan.” Ujarnya sambil menjelaskan dengan melempar pecahan bata ke lantai dan melompat. Ya, bu Ade bermain engklek diatas gambar buatannya yang diandaikan sebagai sistem peredaran darah manusia.

Kami melongo sebentar saat ia menjelaskan dengan begitu cepat. Namun karena beliau menjelaskan sambil bergerak dan bermain, dan gambar-gambarnya pun dilengkapi dengan tulisan bilik kanan, bilik kiri, paru-paru, dan lain-lain, juga disertai dengan berbagai warna, maka dengan mudah kami menghafalnya.

Ia kemudian mengangsurkan lima batang kapur berbeda warna ke arahku dan empat temanku yang lain. Kami berlima yang tadi tengah gelisah dan takut tentang urusan kaca jendela yang pecah, kini dihadapkan kepada guru nyentrik dengan sistem peredaran ‘engklek’ darahnya.

“Gambar dan main!” ucapnya singkat, lalu meninggalkan kami untuk membagikan kapur yang lain pada teman kami yang lain.

Dalam waktu singkat kami menggambar sistem peredaran darah kami sendiri di lapangan upacara, di depan kelas, di dalam kelas, halaman belakang, atau dimana pun kami bisa menggambar, dan mulai melempar potongan batu bata kami ke dalamnya. Berjinjit, berjingkat, melompat, dan kemudian bersorak gembira ketika kami bisa mencapai jantung kembali setelah berjalan jauh ke paru-paru atau ke seluruh tubuh.

Dan entah mengapa, sejak saat itulah saya mulai menyukai yang namanya sekolah. Karena beliau lah, guru nyentrik dengan sistem peredaran darahnya yang aneh.

Ketika permainan itu berakhir tiga puluh menit kemudian, kami duduk menyebar di lantai kelas tanpa takut kotor, diatas gambar-gambar yang sudah tak jelas bentuknya, sambil menjawab pertanyaan bu Ade dalam kertas selembar.

Baru kali itu juga saya tak takut dengan namanya tes dadakan. Ya, karena tes itu hanya menyuruh kami untuk menggambarkan aliran peredaran darah kecil dan besar. Kami boleh menggunakan gambar, kata-kata, atau perpaduan keduanya. Dalam waktu sepuluh menit, semua anak sudah selesai dengan pekerjaannya, tak lupa dengan wajah sumringah karena berhasil mengerjakan dengan usaha sendiri tanpa mencontek.

Oh God, how do I love school so much at that time!


Tak ada kaca jendela pecah lagi mulai saat itu, karena bu Ade mengajak kami bermain baseball di lapangan sepak bola tanpa khawatir memukul keras-keras, atau melempar bola sejauh mungkin.

Tak ada lagi keluhan malas sekolah dari anak siswa kelas 4 SD. Kami begitu bersemangat menyambut guru baru yang energik dan eksentrik itu dengan segala keunikannya dalam mengajar.

Tak ada lagi saya dan teman yang mengeluhkan dimarahi guru, karena bu Ade Khodijah dengan caranya yang spesial, selalu menemukan jalan bagaimana menegur kami dengan bahasa halus, mengena, dan tetap diingat namun tidak terkesan menggurui. 

Yes, she successfully locked our heart into her.

*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Gerakan Indonesia Berkibar.





 

3 komentar:

  1. Saya malah ga tau caranya main Bata Tenggor. Tapi, guru itu memang benar2 jempolan, kreative, dan innovative. Patut dicontoh. Luar biasa, saya kagum..thanks for sharing, sist.

    BalasHapus
  2. yup sama2 mbak, hehe :D guru paling kreatif dan unforgettable buat saya :)

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...