17 Juli 2011

Namanya Marina

image is taken from here
Namanya Marina.

Entah itu nama yang sebenarnya atau tidak, yang pasti saya sering mendengarnya begitu. Yah, nyerempet-nyerempet nama Maria Mercedes katanya, nama seorang pemeran telenovela terkenal zaman jadul.

Giginya sudah banyak yang hilang, mungkin tertinggal satu dua. Wajahnya penuh dengan keriput sana-sini, namun setiap bertemu dengan siapapun ia selalu tersenyum. Kakinya sudah mulai pegal berjalan keliling desa untuk berjualan sapu lidi, bakul, penggorengan, dan alat masak lain, namun toh ia tetap melakoninya setiap minggu.

Dengan bakul berisi barang-barang jualannya, sandal jepit lusuh, gendongan dari kain batik, penutup kepala semacam slayer bermotif bunga-bunga besar ala ibu-ibu desa, ia berkeliling dari satu kampung ke kampung lain. Menjajakan barang jualannya yang sudah mudah ditemukan di pasar, mobil keliling serba sepuluh ribu, atau di warung-warung kecil.

Seminggu dua hingga tiga kali ia mengunjungi kampungku. Suaranya yang serak dan nyaring sudah terdengar meski ia masih jauh. “Nennggg, sapuna yeuh..” dengan logat sunda yang kental sekali. Aku tak pernah memperhatikannya dengan seksama hingga hari ini.

Saya dan tetangga sebelah rumah, mamanya Vina dan Baim, sedang berada di halaman kami yang beralaskan ubin hijau muda, ngobrol gak jelas sambil memberi makan kedua anaknya. Suara nenek Marina memang kami dengar, namun tidak kami gubris karena yah, toh sudah biasa.

“Neng na ayaa?” neng nya ada?

Kaget, ia ternyata sudah berdiri di belakang pagar. Kebetulan tempat duduk kami membelakangi pagar yang ditutup plastik mika berwarna hijau sehingga kami tidak sadar ada yang mendekati dari belakang.

“Mak, abdi mah teu meser,” bu, saya tidak beli. Mama Vina yang membalas karena terus terang saya bingung mau membalas apa. Saya mengerti orang berbicara apa dalam bahasa Sunda, tapi membalasnya itu yang saya bingung, ujung-ujungnya ya pake bahasa Indonesia juga.

“Sanes lain eneng? Duh, saha nyaa, asaan teh meuli na di dieu.” Jadi bukan eneng? Duh siapa ya, perasaan belinya disini.

Wajahnya terlihat bingung.

“Oh, eta mah teh Yanti, nu payun eta bumina. Nu hejo, he’eh. Sanes.” Oh itu sih the Yanti, rumahnya yang di depan itu, yang warna hijau.

Lalu nenek Marina mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju rumah berwarna hijau di depan rumah kami.

“Inget aje ya dia?” ucapku heran. Umurnya mungkin sudah 70-an, namun daya ingatnya terlihat masih baik.

Mama Vina mengangguk, “Iya kak, dia mah inget siapa aja yang beli. Kan kreditan tuh, diutangin beli sapu atau bakulnya, dia inget berapa sisa yang belum dibayar juga. Padahal udah tua ya?”

“Iya makanya, dia jualan sapi lidi kan?”

“Sapu, bakul, penggorengan, macem-macem kak. Segitu teh udah haji kak, jangan salah loh.”

“Iya tah? Waahh, keren.”

“Cucunya minta beliin motor, dibeliin sama dia.”

“Pake hasil jualan keliling?”

“Gak tau juga deh, tapi kayaknya dia jualan keliling juga, buat ngisi waktu kali. Mungkin ada usaha lain di rumahnya.”

Saya termenung cukup lama saat itu.

Mengangumi sosoknya yang masih kuat untuk berjalan seharian menawarkan barang dagangannya dari rumah ke rumah. Sementara saya malas sekali jalan kaki keliling kompleks untuk olahraga pagi atau sekedar jalan-jalan menghirup udara yang masih segar.

Kemauannya yang kuat untuk menghidupi keluarga hingga usia renta.
Saya tidak tahu apakah nenek Marina itu masih punya suami atau tidak, anaknya berapa, anaknya kemana, kok membiarkan orangtua yang seharusnya berada di rumah menikmati masa tua justru berjualan di tengah hari bolong.

Yah terlepas dari itu semua, saya berharap ia segera berhenti bekerja.

Masa tua harus dinikmati dengan banyak bersantai dan beribadah. Bukan berarti masa muda tidak bersantai dan ibadah, namun banyak hal yang kita cita-citakan dikejar saat muda kan? Beristirahat lebih sedikit, bekerja dan beribadah yang giat, berdoa yang getol.

Gak jaman deh muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga. Banyak orang yang berhenti di tahap muda mati tolol, tua tua keladi, atau mati susah hidup tak mau.

-__- #

3 komentar:

  1. :'( papaku sudah sakit juga masih ke Lombok trus rencana maw ke Banjarmasin juga, ngerjain proyek radio disana :(
    alasannya adalah "itu tanggung jawabnya"

    aq selalu klo kisah2 gn inget papa ku yg berjuang sakit tp juga masih bs mikirin cari makan buat anak2nya...

    nice share sist :)
    setidaknya membantu mengingatkan reader betapa org tua sangat berkorban demi anak2nya

    BalasHapus
  2. sedih deh bacanya.. paling ga kuat sm yg beginian... :(

    BalasHapus
  3. @mbak glo.
    iya bener mbak, miris bgt ya, aku sampe mikir anak2nya kemana gituu -.-

    @aishi.
    makasih, emang sedih bgt, miris juga, aniwei, salam kenal ^^

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...