16 Juni 2011

Tiga Jiwa

image is taken from here
Saya menyebutnya tiga jiwa, bukan ababil, bukan galau, ini tentang saya yang punya tiga jiwa. Entah ini penyakit atau apa, tapi yah, itu yang saya rasakan.

Bermula dari kegiatan QR (Qiyamur Ramadhan) atau pesantren kilat di sekolah saya dua tahun lalu. Seorang motivator mengisi acara tersebut dan melakukan tes kepribadian terhadap semua anak yang ikut dengan membuat beberapa pertanyaan di layar, kita menjawabnya dan menghitung jumlahnya, membandingkan terhadap apa yang tertulis di layar, dan menemukan hasil personality test kita.

Ada akar, buah, cabang, dan daun. Itu empat kategori yang dia buat. Mungkin kamu-kamu lebih familier dengan empat kategori ini ya? Melankolis, sanguinish, koleris, dan plegmatis.


Hasil dua tahun lalu, saya melankolis, akut. Yang sempurna, katanya. Terjadwal, rapi, teratur, semua mengikuti aturan yang ada. Kalo ibarat mobil, lewat jalan tol, lurus-lurus aja gak pernah salip kanan kiri, stay in the line. Orangnya sensitif, dicolek dikit nangis (haha, engga deng,), suka sama angka, matematis, cocok banget jadi sekretaris, kalo mau jalan-jalan jelas maunya kemana, intinya pemikir. Itu saya dua 
tahun lalu.

Di QR itu, dijelaskan bahwa seharusnya kita bisa seimbang, terkadang ada beberapa sifat yang tidak baik jika terlalu dimiliki secara akut, contoh saya yang melankolis akut, skornya nyaris 50, sementara nilai yang lain cukup jauh, mungkin selisih beberapa nilai dengan koleris, sehingga saya memutuskan untuk mulai bersikap fleksibel.

Setahun kemudian, di tes kembali, nilai melankolis cukup turun, sementara koleris meningkat tajam. Masih tidak ada perkembangan dari sanguine dan  plegmatis saya. Dan memang terlihat dari perubahan sikap saya yang menjadi lebih ambisius dan terbuka, speak up my mind, ceritanya mah.

Dari yang sempurna, berganti jadi yang kuat, itu istilah bagi koleris. Suka ngatur orang, main perintah, saya gak suka kalo ada yang nganggur dalam project yang saya kerjain. Semua harus kerja! Sifat saya bossy banget, dan kebetulan megang beberapa hal cukup berpengaruh dalam organisasi, well, saya memang tetap punya pribadi yang rapi, tapi sekarang kenapa jadi lebih otoriter ya?

Sisi baik dari koleris adalah, saya yang kena musibah pencemaran nama baik yang untungnya tidak tersebar luas oleh teman dekat yang tetangga saya sendiri, tidak lantas terpuruk dan menangis memikirkannya ala melankolis saya dulu, justru bangkit dengan cepat, dan goal oriented. 

Saya berhasil dapat juara pertama seumur-umur sejak saya sekolah di sana, susah amit-amit, belajar udah kayak orang gila, dan studyholic banget. Saya knock out down dia yang mencemarkan nama baik saya, langsung hingga dasar! 

Nilainya turun drastis, kami sering kejar-kejaran ranking kelas, namun kali ini dia sama sekali tidak masuk 10 besar! Dia mungkin kaget melihat saya yang notabene lawan perang dinginnya ngerasa adem-adem aja dan malah berlari meninggalkan dia dalam arena pertarungan yang gak saya gubris sama sekali. Sampe sekarang dia belum minta maaf, bahkan saya selalu menegurnya duluan ketika berpapasan. Pikiran lo sempit banget oy!

Oh ya satu lagi, kepekaan saya terhadap lingkungan berkurang drastis! Kenapa? Karena begini, saat saya jadi melankolis, catatan saya yang lengkap dan rapi difotokopi teman-teman sebelum ujian, dan well, saya gak keberatan dong, namanya ilmu ya gak papa dibagi-bagi. 

Handphone saya bisa berdering dan bergetar seharian mengenai kabar fotokopian. Karena saya juga bikin tim sukses, tim berisi orang-orang yang catatannya rapi, lalu saya bagi untuk merangkum kisi-kisi ujian, kemudian digabungkan dan difotokopi untuk semua yang mau. Saya yang koordinir, saya yang tarik uang fotokopi, saya yang bagikan.

Saya ambil sendiri tumpukan fotokopian yang nyaris 50 lembar per anak itu, saya bagikan, dan ada beberapa anak yang justru seenaknya sms, ‘Duh, gue engga bisa ambil sekarang, hujan nih. Besok lo ke sekolah lagi kan?’

Besok libur hey! Kamu kira saya gak ada kerjaan lain selain bagiin fotokopian? Saya nungguin kalian di sekolah sendirian hujan-hujan, terus kalian gak dateng? Setelah apa yang saya lakukan dari awal, sementara kalian hanya tinggal mengambil dan membaca saja?

Pengen marah ga sih?

Saya menyadari dering dan getar itu berhenti ketika ujian selesai. Semua seakan menghilang tanpa kabar yang jelas. Yah, semua orang membutuhkan orang lain dengan asas manfaat bukan? Ketika tidak dibutuhkan maka mereka akan hilang. Simple, but its hurt.

Besok-besoknya saya gak serajin itu. Mereka tetap boleh fotokopi, tapi organize sendiri-sendiri. Gak lagi bikin tim sukses, kecuali jika ada yang berjanji mau membantu saya dari awal hingga akhir.

Alhamdulillah nilai saya gak turun karena ngurusin itu semua, karena memang benar kok, ilmu itu engga berkurang ketika dibagi. Hanya saja, ah, entahlah, rasanya lelah saja menjadi orang yang bernisiatif sementara yang lain hanya tinggal topang dagu. Saya menjadi orang yang, yaaah, masih tetap (sedikit) peka terhadap lingkungan, tapi saya melihat dulu jenis lingkungan seperti apa, dimana saya harus bersikap peka.

Oh ya, belum selesai. Tahun ini saya kembali mencoba tesnya. Agak tercengang dengan hasilnya. Ada nilai sanguine yang cukup besar disana. Well, sekarang saya jadi bisa menjadi tiga sosok berbeda. Melankolis, koleris, sanguine. Plegmatis belum menunjukkan perubahan signifikan.

Sanguin, yang populer, hidup senang, suka mengobrol, moody, semenit sebelumnya tertawa, kemudian bisa menangis tanpa harus ada alasan yang rasional. Mulai pelupa (oh God, bener banget), hidupnya gak teratur, kurang bisa disiplin waktu, sering lupa pada rencana. Semangatnya yang menggebu-gebu yang saya suka, dan dia disukai orang banyak. Entah caranya bicara, tertawa, membuat joke, atau membawa gosip kemana-mana. Gak ada lo gak rame itu cocok banget buat sanguine.

Semenjak bekerja, saya yang biasanya well-organized person, agak mulai berubah. Kerjaan jadi asisten lab itu gak banyak, bahkan saya harus cari kerjaan untuk membunuh waktu dari jam 8 pagi hingga 4 sore. Saya bisa selama 3 bulan tidak ada aktivitas laboratorium, dan akhirnya kerja merangkap jadi sekretaris ibu kepala sekolah lah jadi pilihan saya. 

Orang yang biasa kerja deadline dan multitasking model saya, agaknya mulai gila dengan kerjaan ini. Boriinng! Makanya tahun ini saya putuskan untuk keluar kerja, dan kuliah. Kegiatan kan seabrek tuh buat anak kuliah, saya tahu saya bakalan sulit bernafas, tapi sekaligus excited banget melihat banyaknya hal yang bisa dilakukan.

Intinya, selama beberapa tahun ini berubahan banyak terjadi pada saya. Bagusnya, di luar saya terlihat lebih welcome ke dunia luar. Gak sejutek dulu, lebih banyak ngobrol, dan yah, menyenangkan lah. Itu sih yang saya lihat ke diri saya, gak tahu deh orang nilainya. Tapi saya jadi ngerasa obrolan saya kadang gak meaning, cuma hahahihi gak jelas, buang-buang waktu, dan sisi melankolis dan koleris saya kayak ada pergolakan batin gitu, ga enak banget rasanya.

Saya jadi ngerasa kosong sesekali. Ngerasa gak jadi diri saya sendiri. Karena terkadang ketika kita menghadapi lingkungan yang berbeda, kita akan totally being different person. 

Saya suka sisi melankolis yang rapi dan terstruktur, itu saya tempatkan untuk pekerjaan yang harus dikerjakan cepat waktu. Alhamdulillah saya masih punya sifat itu. Koleris yang goal oriented, fokus dan keras hati mencapai tujuan, itu saya pake untuk kerja keras dalam prosesnya supaya hasilnya gak mengecewakan. Dan sisi sanguine yang pecinta hiburan, menyenangkan dan ceria, itu saya pakai juga ketika sedang santai.

Yang gawat adalah sifat lupa yang sekarang mulai meradang, gak peka, bossy yang masih keluar, dan moddy. Oh Tuhan. Jika saya kembali berkaca diri, saya ingin diri saya seperti ini itu, tapi saya mikir lagi, itu saya ingin, untuk dipandang baik di mata orang lain, tapi apakah saya benar-benar ingin seperti itu?

Bukannya harusnya kita jadi diri kita apa adanya? Tapi bukannya bersikap fleksibel dan mampu menempatkan diri sesuai lingkungan juga penting? Tapi kalo saya jadi mencampuradukkan semuanya bagaimana?

Selama ini belum ada masalah serius untuk sifat saya. Namun beberapa orang terdekat mulai komplain jika moody saya kambuh. Pagi melankolis, siang sanguine, sore koleris. Gosh, mungkin bisa saya tambahkan malam jadi plegmatis.

Saya gak ingin mengkotak-kotakkan manusia menjadi empat pribadi ini, tapi entahlah, sejak dua tahun lalu saya menikmati mengobservasi orang menurut sifat ini, dan secara tidak langsung saya bertindak atas hasil observasi saya.

Saya tidak jadi diri saya sendiri? Mungkin.

Tapi ah, kenapa dibikin ribet sih? Kalo saya menikmatinya ya sudah. Orang mau complain karena sifat saya yang moody dan akhirnya kayak bunglon, so what?

Tapi saya mikir lagi, apa nanti orang gak mencap saya bermuka dua? Tapi bukannya muka dua untuk orang yang mengadu domba orang lain? Saya kan tidak begitu. Saya hanya bersikap berbeda-beda berdasarkan orang yang saya hadapi. Apa dong namanya? Ya tiga jiwa.

Apa empat? Mungkin tahun depan saya jadi plegmatis. *sigh*

6 komentar:

  1. hahahahhaa......saya plegma akut dekkk
    dr tahun ke tahun gak berubah...paling sanguin sama kolerik yg naik turun gak teratur...
    klo mellow, jelass bukan sayyyaaa bangettt...hahhahahaha
    sayangnya hal2 negatif dr mellow koq ada semua di saya yaaa? hikss...
    tp bener loo itu, dl jg pernah dikasih tau sama kakak pembimning psikologi, klo empat2nya seharusnya bs seimbang, jd jgn menonjol satu aja, sayangnya saya blm berhasil tuh bikin imbang empat2nya, plagma masih merajai hidup saya :P #malah_curcol

    BalasHapus
  2. @mbak glo. hei, sudah baikan? :)
    oh ya? hahaha. plegmatis kan cinta kedamaian dan paling gak mau ribut kalo urusan jajak pendapat atau debat. ya gak sih?

    BalasHapus
  3. makanya, daripada aq bikin dosa menghindari masalah sama org kantor nyebelin2, mending kabur kan? hehehehhehehehhee

    Goddd...aq pengen kerjaan baru...

    #curcoll

    BalasHapus
  4. ember. aku beruntung bgt besok hari terakhir! udah mulai gila!

    BalasHapus
  5. Li, I really love this post!

    Gua pribadu juga pernah ikutan personality test semacem ini, tapi hasilnya kurang lebih juga menunjukan tentang istilah-istilah rumit yang lo bilang tadi (melankolis, plegkakigajah, bla bla bla itulah pokoknya). Dan hasilnya gua sangatsangatsangatsangat dominant, atau bossy. Well, gua gak tau itu hal yang buruk atau hal yang baik, soalnya keterangan menyatakan kalo gua ini selalu berusaha keras buat mendapatkan hasil yang optimal, which is make this one become a good point, right? Jadi, gua masih gak tau apa yang ada di diri gua.

    Eniwei, ada sebuah quote yang dari siapa gua lupa (pepikiun akut saya ini), yang kurang lebih isinya: Berbuat baik kepada orang yang tidak kita sukai itu bukanlah bearti munafik, tetapi hanya bagian dari kedewasaan.

    BalasHapus
  6. @adit.

    Iya cum, jadi kalo gue sama lu berkolaborasi, kita tebak siapa yg lebih ngebossy? haha :p

    Eh aniwei, quotesnya bagus, sayang tak bersumber, kalo gue bilang dari lu yang ada orang nangis darah dengernya, hahaha :p

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...