20 Maret 2011

Tentang Perbedaan, menghargai dan melepas ego.


image taken from here
image taken from here



















Awal niatnya ikutan cuma karena saya belum ngerasain gimana sebuah launching buku sebenarnya. Dan akhirnya setelah telephone pihak panitia dan mastiin kalo acara ini buat umum, bukan untuk satu agama tertentu, akhirnya saya memutuskan untuk ikut dan mengajak orang lain.
Ada ka yudi, dinda, hening, dan nanda. Satu cowok dan empat cewek berjilbab.

Launching buku dan talkshow Si Cacing dan kotoran kesayangannya 2, oleh Ajahn Brahm. Seseorang yang lahir di London, merupakan lulusan Cambridge University, jurusan Fisika Teori dan pernah menjadi pengajar. Keluar dari pekerjaannya dan memilih menjadi murid Ajahn Chah, menjadi pertapa di pedalaman gunung di Thailand selama 9 tahun lamanya, dan sudah hidup menjadi seorang bikhu selama kurang lebih 30 tahun.

Semuanya sempet ragu untuk ikut, masalahnya jelas di tiket yang kita pesan tergambar seorang bikhu dengan jubah coklatnya, kacamata bening, dan kepala botaknya yang menunjukkan bahwa launching buku ini bertujuan untuk agama budha.

Saya coba cari bukunya yang edisi pertama, dengan pinjem ibu Mia, salah satu guru di tempat saya bekerja, then, saya baca cerita pertamanya.

Menceritakan tentang bagaimana sulitnya hidup sebagai bikhu yang telah bertapa selama 9 tahun di Thailand, dan kembali ke Negara Australia untuk membuat sebuah kuil untuk agama budha. Namun ia mengerjakannya semua sendirian, karena untuk seorang bikhu, mereka mengabdikan hidupnya untuk agama mereka, seperti pastur dalam agama Kristen, sehingga mungkin uang didapat dari donasi saja.

Membangun tembok, katanya, kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata:  tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok  sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu saya ratakan sisi yang naik itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!

Setelah berusaha keras, ia akhirnya bisa membangun sebuah tembok. Namun setelah jadi, ia melihat ada dua batu bata yang jeleknya minta ampun berada disana! Melenceng, keluar jalur dan sangat tidak enak dilihat!

Siapa yang tidak naik darah?

Ia marah melihat bahwa hasil karyanya tidak sempurna, dan mengutarakan keinginannya pada guru besarnya Ajahn Chah untuk merobohkan tembok itu dan membangunnya dari awal. Itu pun yang sering saya lakukan ketika merasa pekerjaan saya jeleknya minta ampun. Hasilnya emosi jiwa dan berusaha mengacak-acak hasil pekerjaan saya! Seberapa lama pun saya mengerjakannya saya tidak peduli!

Tapi gurunya mengatakan bahwa biarkan batu bata itu seperti pada tempatnya. Tak perlu dirubuhkan dibangun ulang. Lalu setiap ada orang yang mungkin ingin memberikan donasi dan berkeliling melihat, Ajahn Brahm selalu menghindari mereka melewati tembok itu, malu katanya, karena ia sangat-sangat tidak suka dengan hasil karyanya yang buruk itu.

Suatu hari ada seseorang yang berkeliling dan menemukan kedua batu bata jelek itu.
Tau apa yang dikatakan seseorang itu?

“Itu tembok yang indah.” Katanya santai.

Ajahn Brahm berkata, “Pak, apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan anda sedang terganggu? Tidakkah anda melihat dua batu bata yang jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”

Orang itu menjawab, “Ya, saya bisa melihat dua batu bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 batu bata yang bagus.”

Cerita terakhirnya tentang kisah yang akhirnya digunakan sebagai judul buku ini, yaitu “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, dimana setiap orang memiliki zona kenyamanan atau 'comfort zone', yang biasanya jarang banget mau meninggalkannya. Ajahn Brahm menggambarkan seperti dirinya, yang seorang biksu, terlahir kembali jadi seorang cacing yang tinggal dalam seonggok (maaf) kotoran cacing. Walaupun sudah diiming-imingi nirwana oleh sahabatnya, namun si cacing tetap memilih untuk tinggal dalam seonggok tahi yang baginya lebih ‘nyaman’.

Terkadang kita pun begitu, karena sudah nyaman dengan kehidupan, rutinitas, gaji, dan sebagainya, kita menjadi lupa, bahwa masih ada kesuksesan, kebahagiaan atau apapun yg baik yang bisa kita raih dibanding hanya bergelung dalam 'comfort zone' kita sendiri.

Dan dari situ, walaupun saya belum membaca keseluruhan bukunya, saya sadar bahwa bukunya ‘berisi’. Saya bukan seseorang yang bisa memahami kata-kata sulit yang dikatakan ‘orang bijak’ dan ‘orang pintar’. Oleh karena itu, cara Ajahn Brahm dalam buku ini untuk ‘mengetuk hati’ saya, begitu unik.

Seperti seorang ayah yang mendongengkan cerita kepada putrinya yang merengek dibacakan cerita pengantar tidur. Dengan cerita ia memberikan makna yang lebih luas dari cerita itu sendiri.

Terkadang, mungkin karena umur, remaja, dewasa, dan orang-orang tua begitu sulit untuk mengaplikasikan hal-hal baik yang datang dari luar, atau perkataan orang lain yang baik untuk mereka. Karena mereka sudah bisa berfikir lebih ‘bijak’, lebih ‘mengerti’, dan bisa tahu ‘hal baik’ dan ‘hal buruk’ tanpa perlu diberitahu lagi.

Mereka sudah ‘tahu’, yang sulit adalah bagaimana cara mereka mengatur agar diri mereka tersentuh untuk melakukan hal baik yang mereka ‘ketahui’ dengan cara menyenangkan.

Aniwei, acara yang berlangsung dari jam 7 hingga 10 malam itu tidak begitu terasa ternyata. Dengan ceritanya yang inspiratif, cara bicaranya yang menyenangkan, saya tahu saya bisa duduk berlama-lama hanya untuk mendengarkan kisah inspiratif Ajahn Brahm.

Hanya kami berempat yang menggunakan jilbab, duduk di deret terakhir karena semuanya sudah terisi penuh sejak jam 5 sore, cukup menyita perhatian. Saya cukup kaget awalnya, terasa sekali aura minoritas disana. Karena kami saja yang menggunakan jilbab, sebagai identitas seorang muslim, secara tidak langsung kami membuat orang lain menyorotkan lampu pada kami.

Haha, kesannya jadi over pede yah, tapi beneran sih, ada beberapa pasang mata yang lewat melihat kami dengan tatapan ingin tahu. Sama ketika kita mengaji, lalu datang satu orang yang tidak berjilbab di tengah majlis, ia akan membuat dirinya menjadi sorotan secara tidak langsung hanya karena berbeda, bukan?

Tapi ada sebuah rasa bangga dan lega juga disana. Ketika kami berani mengatakan bahwa kami muslim, lega karena kami tidak di diskriminasi, dan ketika merasakan begitu sopannya orang budha dalam menyambut tamunya.

Satu lagi yang saya ingat, ketika Ajahn Brahm turun dari podium, kami berdiri menyamping, hampir semua orang menutupkan kedua tangan di depan dada, memberikan rasa hormatnya pada bikhu bijaksana itu, dan ketika beliau melewati kami, senyumnya yang tak pernah hilang sekali pun, di foto, di podium, dimanapun, tersungging pada kami, lalu ia berkata, “Thank you for coming.”

Thanks for this wonderful night, Ajahn Brahm, Anda membicarakan banyak hal yang inspiratif bagi kami tentang arti perbedaan, menghargai, dan melepas ego.

“You would never change the world with complaining.”

“Don’t think it, just do it.”

“Setiap pagi, ketika kita baru bangun, lihatlah kaca, angkat kedua jarimu, tekan sisi-sisi bibirmu dan tersenyumlah disana. That’s the simple way to be happy.”

“Dalam hidup,memikirkan segala sesuatu itu tidak mudah, justru melakukannya lah yang mudah. So, just do it!”

“We must let go too much thinking, too much complaining..”

“Tempat dimanapun ketika Anda tidak ingin berada, disanalah penjara anda.”

Ajahn Brahm.


***

Review ini, diikut sertakan dalam giveaway nya mbak Inge, tadinya tullisan berakhir di quotes Ajahn Brahm diatas, tapi ada yang mesti ditambahin, yaitu buku yang kepengen dibaca, jadi yaa, check this out!

Nahh, ini nih, buku yang lagi kepengeeeenn banget dibaca itu bukunya Agnes Jessica yang pelangi itu, ada tujuh buku, Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu. cuman karena buaanyyak banget kayaknya mesti nabung dulu deh buat beli :(
buku-bukunya Agnes udah saya suka dari dulu, mulai Rumah beratap bougenville, mesin waktu, dongeng sebelum tidur, peluang kedua, angan sang cinderella, tunangan? Hmm.. dst dst. buaanyyak banget novelnya, dan kepengen koleksi aja, hihi. :D

kalo disuruh pilih satu buku, kayaknya saya pilih biru deh, because i do love bluee, hehe :D
nanti nabung lagi buat beli yg lain, pokoknya biru duluu!

"Diikutkan dalam Kita Berbagi yang di selenggarakan Cyber Dreamer" (http://cyberdreambox.blogspot.com/2011/04/kita-berbagi.html)


4 komentar:

  1. hmmm namun bagi saya berpikir itu tetap perlu... memang yg penting adalah melakukan atau tidak. namun berpikir jg sangat penting untuk mengimbangi itu bagaimana kita bisa tau apa yg kita lakukan benar atau salah tanpa berpikir? gitu yah?
    mm hehe atau bukan gitu ya maksd bapak ini

    BalasHapus
  2. hai mbak nid, makasih sudah mampir :D

    kata bapak brahm, terkadang memang kan manusia itu sudah tau apa yang akan dilakukannya dalam proses berfikir dahulu, cuman, lebih sering ketika kita sadar itu benar harus dilakukan, jadi mandek, atau membatalkan niat karena difikir lagii.. difikir lagi.

    saya juga setuju untuk fikir dlu, bertindak, jadi lebih berorientasi dgn jelas. tp ttp, kalo kelamaan mikir, takutnya ga jadi karena terlalu lama mikirin yang engga2.

    gitu lah mbak, jadi muter2 ya? hahaha.

    BalasHapus
  3. Terima kasih sudah ikut dalam "kita berbagi"

    tulisan lama gpp, tp kalau bisa di repost ya ^^

    terima kasih

    BalasHapus
  4. iya mbak, hehe, makasih sudah mampir :D

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...