30 Maret 2011

Short Term Memory

Siapa kamu?

Itu pertanyaan yang saya dengar dari kedua bibir tipismu yang ternyata sudah membiru. Pekat. Kamu kini merokok, mas, saya tidak menyangkanya.

Saya bingung harus menjawab apa, karena memang saya tidak tahu harus memulainya darimana. Haruskah tentang pertemuan kita yang janggal? Atau tentang tawamu yang 
renyah dan menenangkan?

Dimas, ini saya, Nada, kamu tidak ingat?

Kamu menggeleng. Masih dengan wajah acuh yang sama, mata yang tak menatap ke bola mata saya sejak awal, dan pikiran yang kamu taruh di negeri antah berantah.

Ada urusan apa kamu dengan saya?

Jelas saya punya urusan denganmu! Terlebih ketika kamu mengepulkan asap rokok menjijikan itu ke muka saya ketika menanyakan hal itu!

Saya Nada Azalea. Temanmu, kita dulu sering ngobrol tentang banyak hal di pelataran kampus.

Kamu sejenak berfikir. Saya masih menunggu, berharap kamu bisa menggali lebih dalam memori pendek kamu yang sejak dulu tidak bisa saya andalkan. Berharap ada secercah memori tentang saya di lemari pikiranmu yang berantakan dan tak terurus.

Udahlah, saya gak inget kamu siapa. Mendingan beliin saya rokok aja, udah abis nih!

Saya tergugu. Kita kenal sejak lama dan kamu tidak mengenal saya? Bahkan ketika sudah saya sebutkan nama, dan mengaku sebagai temanmu? Tuhan, saya tidak percaya ini!

***

Nad, tempat pulang itu apaan sih artinya?

Saya mendengar kamu bergumam sesuatu, tapi saya tidak berhenti mengunyah kentang goreng dan mengetik di komputer, membuka facebook, mencari wall seseorang yang saya suka, dan fudulisme pun terjadi. Sesaat saya lupa kamu berada di samping saya.

Sebelum akhirnya sebuah kado manis saya rasakan di kepala saya. Jitakan cukup keras dari kedua tanganmu yang kekar itu.

Ehh, jitak jitak pala anak orang! Apaan sih? Ga liat orang sibuk?

Jitakan di kepala saya bertambah lagi.

Sibuk fudulin Rama maksudnya?

Saya memberikan senyum cengengesan terbaik saya kepadamu. Yaa, kayak elo sering 
fudulin Sinta, so I am either. Kebiasaan, gimana dong?

Kamu terdiam tidak menanggapi, malah mencomot kentang goreng saya dan menyedot fanta float saya yang sudah setengah habis.

Saya menunggu sambil memperhatikan wajahmu yang tiba-tiba terlihat moody. Menebak-nebak sifatmu yang seperti bunglon itu cukup melelahkan, terlebih ditambah mood jelek, untungnya kamu bukan perempuan yang bisa PMS, jika iya, mungkin kamu bisa terlihat seperti medusa dengan jutaan ular di kepalamu yang membatukan semua orang yang melihat matamu. Ckckck.

Nad, tempat pulang itu apaan sih artinya?

Hah?

Saya bingung mendapati kamu bertanya hal seperti itu. Maksud saya, saya bingung aja, seseorang seperti kamu bisa bertanya hal seperti itu. Hal yang jika saya jawab bisa menjadi puisi panjang tentang Rama, atau sok sok masukin sisi psikologis dan teori si ini dan si itu.
Kamu menunggu saya menjawab, saya tahu.

Well, tempat pulang apaan nih maksudnya? Konotasi apa denotasi?

Kalo arti tersirat apaan?

Konotasi. Siapa yang bilang?

Sinta.

Oh.

Baiklah sudah saya duga. Perempuan kamu yang pasti bicara tentang itu. Tak mungkin kamu tiba-tiba terfikir hal seperti itu jika bukan dari perempuanmu.

Tempat pulang bisa berarti buruk dan baik.
Buruk ketika dia hanya jadi tempat terakhir dimana kita gak bisa cari kesenangan lain di luar, cape foya-foya di luar, atau tempat sampah. Terakhir, terburuk.
Tapi bisa juga berarti baik, tempat dimana kita merasa nyaman dan bebas jadi diri kita sendiri.

Kamu sejenak terdiam. Saya menunggu.

Yah, kalo itu yang dimaksud Sinta, pasti maksudnya baik.

Saya terdiam, lalu bermaksud berkata lebih lanjut.
Tapi kalo berantem terus, saling nyakitin itu bukan tempat pulang namanya, mas.

Kamu menatap nanar ke atas langit dan bicara dengan gumaman tak jelas, mungkin bicara dengan dirimu sendiri

Ya, saya tahu.

***

Nad, kamu ngapain disitu?

Kamu menatap saya yang sedang berada di atas gedung dengan tatapan santai. Saya tidak melihat sedikit pun guratan kaget atau panik dari wajahmu yang semakin dewasa bersama dengan detik berlalu.

Bagaimana rasanya mati, mas?

Kamu tertawa, lalu menarik saya untuk duduk bersama. Saya menurutinya, saya tahu kamu tidak pernah mengecewakan saya. Kamu mengeluarkan sekaleng jus apel dan sebuah apel merah. Yang pertama adalah kesukaanmu, yang kedua adalah kesukaan saya.

Kamu lalu menutar lagu Kenny G dari playlist lagu di handpohe mu, saya yang memasukannya, memaksamu untuk mendengarkannya juga. Memaksamu untuk menyukai lagu itu juga. Padahal saya tahu lagu yang kamu suka beraliran keras, bukan jazz seperti saya.

Saya gak tau rasanya mati, Nad. Jangan tanya saya.

Kamu membaringkan diri menatap langit, saya mengikutinya. Lalu kamu menunjuk langit sambil berkata.

Saat ini, Tuhan melihat kita bukan? Melihat saya menunjuk langit, di samping kamu yang berniat bunuh diri hari ini.

Sebenarnya saya tidak peduli kamu mau mati atau tidak, yang saya pedulikan apakah nantinya saya jadi sendirian?

Mungkin bagi kamu saya tidak penting. Begitupun dengan cerita membosankan saya tentang Sinta. Saya dan kamu hanya dua orang tak saling mengenal yang hanya dipertemukan oleh satu hal. Cinta dengan cerita yang sama.

Saya menyayangimu seperti teman, adik, kakak, atau apalah yang kamu fikir itu penting. Jadi saya pun ingin kamu mengangap saya sebaliknya.

Jadi, bisakah kamu menunda keinginanmu untuk mati dan membiarkan Tuhan yang menggariskan ujung hidupmu dengan jalan-Nya sendiri?

Sementara menunggu, setidaknya kamu bisa memakan apelmu bersama saya, dan sekali lagi membicarakan Rama dan Sinta.

Saya mengangguk, lalu memakan apel saya dalam tangisan yang tak bersuara. Hanya sesekali terdengar suara apel dikunyah, dan guncangan bahu saya yang diredakan oleh pelukanmu. Bahumu basah oleh bulir Kristal yang turun dari mataku.

Bolehkah saya berharap agar semua memori saya hilang, agar kenangan Rama tidak membusuk di otak saya hingga saya terus berniat mati?

Kamu terdiam tidak menjawab.

***

Dimas, kamu ingat tentang apa yang saya katakan tentang tempat pulang dulu?

Ya.

Apa itu?

Tempat terakhir dimana kita gak bisa cari kesenangan lain di luar, cape foya-foya di luar, atau tempat sampah. Terakhir, terburuk.

Itu sisi buruknya. Saya juga mengatakan sisi baiknya.

Tidak ada sisi baik dari tempat pulang.

Ada.

Tidak.

Saya tahu kamu sudah berubah saat ini. Bahkan merokok, bahkan tidak tahu siapa saya. Tapi entah mengapa kamu masih mengingat apa yang saya katakan, walau sebagian, tentang arti tempat pulang.

Apa yang terjadi dengan kamu dan Sinta pada akhirnya?

Mata kamu yang tadinya menatap lurus ke arah jalan-jalan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan kemudian menatap saya intens. Seperti menyelam ke dalam riak bening yang menghiasi dua bola mata saya, mencari sesuatu yang saya tidak tahu apa itu.

Siapa Sinta?

Jangan bohong, saya tahu kamu mengerti siapa yang saya bicarakan.

Kamu terkekeh, lalu mengusap kepala saya pelan. Saya terkejut dan mundur beberapa langkah. Antisipasi dengan perubahan tingkahmu yang mendadak.

Kalau begitu, ceritakan tentang apa yang terjadi pada kamu dan Rama akhirnya.

Saya tertegun, dan tanpa sadar berkata,

Kamu ingat siapa saya?

Tawamu makin keras. Kamu mengambil sebatang rokok dari saku jaketmu dan menyulutnya cepat. Asap mengepul di udara, dan aku pun terbatuk.

Dari dulu kamu tak pernah tahan dengan asap, Nada.

Lalu kini saya yang gantian tertawa keras. Memori saya terangkat dan mengumpulkan semua serpihan bingung itu menjadi satu.

Short term memory?

Kamu mengangguk mantap.

***

Siapa kamu?

Nada menatap saya seperti orang lain, dan saya tahu bahwa harapannya yang dulu sudah terkabul.

Memorinya hilang. Seluruhnya.


Ps: terinspirasi dari obrolan singkat sebelum tidur bersama Dimas tentang kami yang sama-sama bermemori pendek :p

3 komentar:

  1. sempet dibuat berpikir pas baca ini....tp bagus koq :) hehehe...
    keep on writing

    BalasHapus
  2. hahaha..jadi ingat film finding nemo, short-term memory yang parah banget.

    BalasHapus
  3. @mbak glo. duh, terharu, hehe. si dimas yang saya ceritain diatas malah ga ngerti pas baca.

    @mbak henny. si dori ya? tadinya mau pake foto itu mbak, tp kok jdi ga nyambung ya? hehe :D

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...